Tak Perlu Takut Teror

photo author
- Kamis, 28 April 2016 | 04:25 WIB
Tak Perlu Takut Teror
Tak Perlu Takut Teror

Agama ketika mati, ia terlahir kembali. Nyawanya 1 triliun. Sebab, ia diwariskan, diajarkan dan dihidupi serta menghidupi manusia. Bagai angin, ia dapat bergerak menyelinap, hidup, “memvirusi” manusia di mana saja dan kapan saja. Tetapi juga seperti tumbuhan, ia dapat mati kapan saja dan di mana saja. Manusia berhutang budi pada keberadaannya.

Kita wajib mengajak semua lapisan untuk mencermati perkembangan masyarakat beragama di masa depan. Sebab, beragama pada akhirnya tak lain adalah kejadian-kejadian yang ditulis ulang, diputar ulang dalam rangkaian melingkar yang berkelok tak berhingga dalam multi wajah, kompleks, beragam yang kadang retak dan tak selalu mulus. Disusun ulang dari percakapan-percakapan dan pikiran-pikiran dari orang per orang dan diselundupkan ke sel-sel pikiran orang lain di sekitarnya. Ia membentuk ikatan dan batas, solidaritas dan kewajiban, ingatan dan cita-cita, kawan dan lawan, serta imaji dan harapan.

Karl Mark malahan mengatakan bahwa agama adalah candu. Ia begitu “memabukkan” setiap orang yang mengecapnya secara membabibuta (taqlid buta). Inilah sebuah zaman yang menandakan lahirnya kekuatan fundamentalisme agama guna melawan neo-kapitalisme dan neo-liberalisme yang digerakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja fundamentalisme-terorisme agama dan hegemoni kapitalisme AS merupakan dua kutub antagonis yang berseberangan. Sebab, fundamentalisme-terorisme agama harus dikecam (ditinggalkan), fundamentalisme-terorisme demokrasi—yang didesain sehingga melahirkan perlawanan dan kekejaman yang sama—juga harus dikutuk ramai-ramai.

Menurut para ilmuwan, analis, pakar politik, pers dan dalam pengertian yang paling sederhana, mereka yang berani melawan Kapitalis Amerika adalah para fundamentalis, radikalis, ekstrimis dan teroris. Tetapi, siapakah sesungguhnya para begundal penganut fundamentalisme itu? Fundamentalisme sering dimaknai sebagai perilaku keagamaan berdasarkan penghayatan normatif (normative approach) yang skriptural (berdasar teks semata) tanpa melihat persoalan-persoalan substansial lainnya (misal; sejarah/asbabunnuzul, peradaban, iptek). Perilaku penghayatan normatif ini kemudian melahirkan sibling rivalry (bersaudara untuk bermusuhan) yaitu permusuhan antar saudara kandung (maksudnya, Abrahamic Religions—Yahudi, Kristen, dan Islam) dengan mengedepankan sikap truth claim, merasa paling benar dengan menyalah-menyesatkan agama dan pemeluk lainnya bahkan yang masih satu keyakinan.

Lalu, bagaimanakah agama beroperasi dalam wilayah “peperangan” ini? Melalui penelitiannya, Karen Armstrong (2000) sampai pada kesimpulan bahwa; pertama-tama yang dilakukan adalah menyampaikan bahwa logos tidak cukup untuk memahami dunia. Kedua, ditumbuhsuburkannya mitos-mitos; misalnya mitos penyelamat atau pahlawan, mitos perintah dan wakil Tuhan, mitos masyarakat pilihan, mitos kejahatan dan mitos kebebasan. Ketiga, dengan menampilkan figur yang kharismatik. Keempat, dengan menghadirkan “rasa kepemilikan” yang berderajat tinggi. Kelima dengan menghadirkan bahkan mentradisikan “kesucian atau sakralitas” dalam kehidupan yang profan (dunia).

Lahirnya kelompok radikalis-ekstrimis yang selalu mengedepankan kekerasan dalam beragama seperti Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS)/Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang mengatasnamakan (claim) agama (Islam) yang paling kaffah (tulen, suci, murni) adalah perwujudan dari penghayatan normatif beragama (jika tidak ingin mengatakan menjual agama demi kepentingan polititis-pragmatis). Yaitu orang-orang yang mengimani agama dari segi teks saja, bukan konteks atau sabab-musabab (asbaabunnuzul) diturunkannya suatu ayat (Al Qur’an.)

Fenomena maraknya kembali tradisi kekerasan dan radikalisme ekstrim oleh para penganut keagamaan yang berani bunuh diri dan meledakkan bom serta memenggal kepala orang di berbagai belahan dunia bahkan di Indonesia sesungguhnya merupakan fenomena yang sangat menyedihkan. ”Atas nama iman, atas nama teks” dan “berperang demi Tuhan, berperang demi agama” (kata mereka) kini sedang mengalami faktualisasinya! Inilah potret mutakhir hari-hari kita menyaksikan bom dan ancaman terorisme tak berkesudahan di mana-mana termasuk di tanah air.

Sesungguhnya, kekerasan atas nama apapun adalah perbuatan yang melanggar hukum dan nilai-nilai humanisme universal. Maka, terkait tantangan perang dan adu “kesaktian” terhadap Barisan Serbaguna Nahdlatul Ulama (BANSER NU), TNI-POLRI oleh salah seorang anggota ISIS asal Indonesia beberapa waktu lalu di media internet (You Tube), juga peristiwa peledakkan bom biadab dan aksi tembak-menembak di Sarinah, Tamrin, baru-baru ini, Maka BANSER NU, TNI-POLRI dan semua warga bangsa wajib menyikapi tantangan ini secara serius. Dalam arti, kita semua sebagai bangsa Pancasilais wajib menumbuhkan kembali cara pandang masyarakat dan bangsa ini pada suatu “konsensus baru” terhadap pola atau perikemanusiaan dan perikehidupan berbangsa dan bernegara serta kegamaan. Perlu ada ketegasan kita semua khususnya pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan langkah-langkah nyata pelarangan dan pembubaran kegiatan bagi kelompok-kelompok beraliran atau berideologi radikalisme-ekstrimisme yang nyata-nyata tidak menerima bahkan menolak asas dan ideologi Pancasila sebagai landasan bersama dalam hidup bernegara. Ini merupakan momentum tepat bagi upaya pelurusan hidup berbangsa dan bernegara serta bagi kelompok-kelompok radikalis-ektrimis ini. Ibarat Komputer, maka bangsa ini perlu di-defrag ulang bahkan di-instal ulang dari virus-virus ganas fundamentalisme, radikalisme dan ekstrimisme!

Alasannya sederhana, kalau aliran atau kelompok-kelompok radikalis bermainstream ekstrimisme ini dibiarkan hidup makin lama lagi di negara Pancasila ini, maka akan memperlemah keutuhan dan sendi-sendi sekaligus ketahanan bangsa serta tentunya akan berujung pada disintegerasi bangsa dan negara. Hal ini kita niatkan dan lakukan sebenar-benarnya demi keutuhan dan menjaga integerasi bangsa.

Oleh karena itu, janganlah yang terjadi malahan egosentrisme kelompok/golongan/institusi dalam menyikapi hal ini, jangan saling menyindir dan melemahkan. Justeru, semua pihak dan komponen bangsa harus proaktif mengonsolidir wawasan kebangsaan kita, wawasan Pancasila. Pancasila sebagai nafas hidup berbangsa dan bernegara sungguhlah mencakup nilai-nilai hakiki keislaman. Sekali lagi, nilai keislaman. Di mana di dalamnya termaktub/tertulis jelas nilai ketuhanan/tauhid, kemanusiaan/ukhuwah basariah, persatuan, musyawarah-mufakat/syurâ, dan keadilan sosial/ta’adul atau al-‘ad’l yang semuanya itu diajarkan agama Islam.

Lagi pula, ancaman ISIS ini bukan hanya ancaman terhadap BANSER NU, TNI dan POLRI semata, melainkan sesungguhnya ancaman ini merupakan ancaman bagi bangsa dan negara Indonesia seluruhnya. Meskipun sebagian pihak mengatakan ancaman ini tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Akan tetapi, ancaman anggota ISIS ini janganlah dianggap enteng dan angin lalu begitu saja. Sebab, ini bukan sedakar sebuah propaganda belaka. Buktinya, tindakan kekerasan, brutal dan sadisme yang dilakukan ISIS terjadi begitu telanjang di depan mata kita yang dapat kita saksikan melalui media massa. Dus, kelompok-kelompok fundamentalis ini bergerak dan memburu siapa saja bagai angin dalam kelebatnya malam. Bisa dirasa dan diraba kulit keimanan ilahiah tetapi maha sulit diditeksi kekuatan manusia yang profan melainkan dengan persatuan tali kebangsaan/ukhuwah wathoniah kita semua.

Dus, yang wajib kita waspadai adalah, bahwa ruh dan ideologi kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan agama (Islam) sudah hidup dan berkembang lama di Indonesia dan sangat potensial menciptakan disintegerasi negara dan bangsa. Semua pihak yang masih mencintai bangsa ini wajib bersama-sama mendorong peraturan yang lebih jelas, tegas sekaligus keras dan tak pandang bulu terhadap kelompok-kelompok radikalis berpaham ekstrimisme yang nyata-nyata ingin mengubah ideologi negara.

Sesungguhnya yang sakti bukanlah PANCASILA apalagi ISIS, melainkan hanya Allah SWT lah yang maha sakti dan maha segala-galanya. Karena ia adalah dzat yang maha tak berbatas oleh apa, siapa dan sesuatu apa pun! Kita semua adalah ciptaanNya. Kita sebagai hambaNya dan umat manusia hanyalah ditakdirkan dan diwajibkan untuk tunduk dan menyembah hanyalah kepadaNya (Wamaa kholaqtul Jinna wa unsa, illa liya’buduun: “QS. adz-Dzariyat: 56”). Wallahu A’lam Bishawaf.

Penulis: Abdul Ghopur, Intelektual Muda Nahdlatul Ulama; Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB)

(Pemikir Masalah-masalah Kebangsaan. Menulis beberapa buku diantaranya: QUO VADIS NASIONALISME?, Merajut Kembali Nasionalisme Kita Yang Terkoyak, 2015, diterbitkan: LKSB & BSD MIPA)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Abdullah Taruna

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X