Belum lama ini salah seorang mantan Presiden Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan tentang aksi demonstrasi massa pada tanggal 4 November lalu. Dari pernyataan tersebut terdapat istilah “Lebaran Kuda” yang akhirnya menjadi viral di beberapa media sosial. Hal menarik untuk dikaji adalah, apakah istilah Lebaran Kuda bermakna peristiwa yang tidak mungkin terjadi atau terdapat hubungan antara kata lebaran dan kata kuda? Untuk memahaminya, penulis coba menghubungkan kata lebaran, kuda, dan Lebaran Kuda.
Kata lebaran identik dengan peristiwa yang setiap tahun selalu dirayakan oleh umat Islam. Dalam tradisi Islam, lebaran dapat bermakna kemenangan, seperti istilah lebaran yang melekat pada kata Idul Fitri. Di sisi lain, kata lebaran juga dapat berarti kemenangan dalam tradisi Idul Adha. Bentuk kemenangan tersebut dapat terlihat dengan berbaurnya semua kalangan untuk menikmati sate kambing atau sapi. Sedangkan kuda adalah hewan tunggangan yang digunakan oleh pemiliknya untuk mencapai tujuan tertentu. Bahkan, pada era peperangan klasik, kuda dijadikan sarana untuk mencapai kemenangan yang diinginkan. Jadi, ada persamaan antara lebaran yang bermakna kemenangan dengan kuda yang bermakna sarana atau alat untuk mencapai kemenangan tersebut.
Terkait dengan aksi demonstrasi besar yang terjadi pada tanggal 4 November lalu, beberapa demonstran melakukan aksi dilatarbelakangi ucapan Gubernur DKI Jakarta yang dianggap telah menistakan ajaran agama Islam. Gubernur DKI pun dijadikan sasaran demonstrasi yang mayoritas dilakukan oleh umat Islam. Tuntutan demi tuntutan terjadi, aksi bergulir dari sehabis Sholat Jumat hingga waktu Maghrib. Namun, yang menarik adalah demonstrasi tersebut juga menyasar ke istana negara dan kemudian para demonstran berharap dapat bertemu Presiden Joko Widodo. Tetapi, karena presiden tidak ada di tempat, maka demonstran gagal bertemu presiden. Buntut dari gagalnya pertemuan antara para demonstran -yang di dalamnya terdapat beberapa tokoh politik- dengan presiden adalah kemarahan para demonstran terhadap Presiden Jokowi. Bentuk kemarahan tersebut dapat terlihat dari banyaknya komentar di media sosial terkait dengan tindakan Jokowi. Bahkan terdapat sebuah gambar, entah hoax atau tidak, yang menuntut sidang istimewa untuk melengserkan Jokowi. Jikalau benar, agenda demonstrasi menjadi diperluas yaitu menuntut mundurnya Presiden Jokowi.
Perluasan tuntutan demonstrasi memang seakan lumrah terjadi pada dunia perpolitikan di Indonesia. Masa Demokrasi Terpimpin, dimana kekuasaan Soekarno yang sangat besar berupaya digerus oleh kelompok oposisi. Momentumnya adalah peristiwa G 30 S/PKI. Setelah terjadi aksi pembunuhan kepada enam jenderal dan satu perwira menengah di Jakarta, muncul aksi demonstrasi yang digawangi oleh mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan beberapa kelompok Islam. Tuntutannya jelas, bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipandang sebagai biang keladi peristiwa tersebut. PKI juga dikonstruksikan sebagai musuh bersama umat Islam, apalagi menjelang G 30 S/PKI terjadi beberapa bentrokan antara kelompok Islam dengan PKI, maka dengan mudahnya mempersatukan umat Islam untuk menghadapi kelompok PKI. Namun, tuntutan mengalami pergeseran ketika Soekarno menolak membubarkan PKI. Tuntutan menjadi luas yaitu lengserkan Soekarno. Dukungan kelompok Islam juga mengalir kepada Jenderal Soeharto yang diamanahi untuk memulihkan kondisi kemanan dan ketertiban. Dualisme kepemimpinan terjadi antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soeharto. Dualisme ini berakhir dengan kemenangan Jenderal Soeharto melalui ‘surat sakti’ bernama Surat Perintah 11 Maret. Setelah itu Indonesia memasuki zaman Orde Baru. Beberapa kelompok Islam pun ‘merayakan’ kemenangan Orde Baru dengan harapan bahwa pada masa yang baru tersebut terjadi perubahan di Indonesia. Namun, pada masa Orde Baru ternyata umat Islam kembali disakiti. Hal itu dapat dilihat dari adanya pembatasan kebebasan menjalankan syariat Islam pada masa tersebut. Pembatasan kebebasan menjalankan syariat Islam dapat dilihat dari adanya penggunaan istilah Eska (Ekstrim Kanan) pelarangan penggunaan jilbab, pemberlakuan Azas Tunggal, hingga munculnya peristiwa arogansi pemerintah kepada umat Islam seperti peristiwa Tanjung Priok dan lain-lain. Pemerintah Orde Baru seakan lupa bahwa umat Islam ikut membantu kemenangan Orde Baru. Pemerintah Orde Baru menjadikan umat Islam sebagai kekuatan untuk menghancurkan PKI yang merupakan kaki politik pemerintahan Soekarno dan kemudian lambat laun juga menggerus kekuasaannya dan meruntuhkan Rezim Soekarno.
Menjelang keruntuhan Soeharto, umat Islam kembali bersatu untuk menumbangkan kekuatan Orde Baru. Beberapa organisasi mahasiswa yang berlabel Islam muncul sebagai salah satu kekuatan untuk menghantam Rezim Orde Baru. Berbagai demonstrasi dilakukan dan seperti sebelumnya, beberapa tokoh politik baik tokoh politik Islam maupun tokoh politik non Islam ikut andil dalam aksi tersebut. Tuntutan jelas, yaitu tumbangkan Rezim Orde Baru. Soeharto dijadikan musuh bersama dan didesak terus untuk mundur. Desakan untuk mundur juga datang dari para pembantu Presiden Soeharto. Bentuk desakan tersebut adalah mundurnya sejumlah menteri dari kabinet dan menolak dimasukkan ke dalam kabinet Reformasi Pembangunan. Puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatan presiden dan keputusan tersebut disambut dengan pekik takbir dari beberapa mahasiswa.
Kemunduran Soeharto mengakibatkan Indonesia memasuki Zaman Reformasi, harapan terhadap perbaikan kembali muncul seperti masa-masa sebelumnya. Harapan besar terjadi ketika dilakukan Pemilu pertama era Reformasi yaitu tahun 1999. Hasilnya mengejutkan, partai Islam tidak menjadi pemenang Pemilu, padahal ada cukup banyak partai Islam yang menjadi kontestan Pemilu 1999. PDI Perjuangan sebagai salah satu partai yang memperoleh suara dominan kemudian mengumumkan calon presidennya yang tak lain adalah ketua umumnya yaitu Megawati Soekarno Putri. Keputusan tersebut mengakibatkan penolakan umat Islam, sehingga para politisi Islam di parlemen menggalang kerjasama dalam wadah bernama Poros Tengah. Mahasiswa Islam juga berupaya mendukung poros tersebut. Puncaknya adalah ketika calon presiden usungan Poros Tengah yaitu Abdurrahman Wahid atau Gusdur berhasil menjadi presiden pilihan DPR (waktu itu pemilihan presiden langsung belum berlaku). Kemenangan Gusdur disambut dengan pekik takbir para politisi Islam. Namun, Gusdur memerintah tidak lama, karena ada beberapa kebijakan Gusdur yang dinilai kontroversial, terutama ketika Gusdur dikaitkan dengan kasus Buloggate dan Bruneigate. Aksi demonstrasi kembali terjadi, dan beberapa tokoh Islam kembali terlibat dalam aksi tersebut. Konflik Gusdur dan parlemen berakhir setelah Gusdur diberhentikan dari jabatan presiden oleh parlemen. Mundurnya Gusdur digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang tak lain adalah wakil dari Gusdur.
Pada masa pemerintahan Megawati, resistensi berupa aksi demonstrasi terjadi dan dilakukan oleh beberapa kalangan termasuk kelompok Islam. Apalagi setelah Megawati Soekarno Putri melakukan privatisasi BUMN di antaranya adalah Indosat. Keinginan untuk menumbangkan Megawati sebagai presiden semakin besar. Namun, Megawati mundur dari jabatan presiden setelah dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden langsung.
Dari beberapa kejadian tadi ada benang merah yang dapat ditarik yaitu, aksi demonstrasi dijadikan alat untuk menunjukkan kekuatan penentang suatu rezim. Selain itu, demonstrasi juga dijadikan alat pembentuk opini publik terkait dengan buruknya kinerja suatu rezim, bahkan pada era Revolusi Digital seperti saat ini pembentukan opini publik dilakukan terstruktur melalui media sosial. Namun, yang perlu diingat, aksi demonstrasi juga melibatkan kekuatan besar yang menjadikan demonstrasi sebagai ‘Kuda Tunggangan’ untuk mencapai ‘Lebaran Politik’ atau kemenangan politik pihak yang ingin berkuasa. Lebih jauh lagi umat Islam selalu dijadikan ’Tongkat Pemukul’ paling efektif untuk menumbangkan suatu rezim, meskipun pihak yang akhirnya berkuasa tidak berbuat banyak untuk umat Islam, bahkan terkadang menyakiti umat Islam dengan kebijakan-kebijakan yang diterapkan.
Apakah aksi demonstrasi tanggal 4 November lalu juga berpola seperti aksi demonstrasi sebelumnya? Jawabannya Wallahu ‘alam. Semoga saja pola demonstrasi seperti yang pernah terjadi di Indonesia dapat berubah sejalan dengan makin cerdasnya umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia. Hal tersebut menjadi penting agar tidak ada pernyataan, ”sampai Lebaran Kuda, aksi demonstrasi di Indonesia akan terus seperti ini”.