Beberapa hari yang lalu kita dihebohkan dengan wacana PLT Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dinilai melakukan penistaan Al-Quran oleh beberapa pihak. Kemudian mendapatkan kecaman dari ormas besar seperti FPI (Front Pembela Islam), dan yang lainnya, dengan melakukan aksi demo yang luar biasa, sampai mendapatkan sorotan dari dalam negeri maupun luar negeri.
Sehingga umat Islam dari pantauan dunia dinilai anarkis dan radikalis, yang dinampakkan oleh media hanya kejelekan Islam itu sendiri. Apa yang salah dengan Islam dan muslim?
Kemudian, kita lihat dalam kabinet kerja sekarang ini, umat Islam tersingkirkan dalam kabinet strategis, seolah-olah umat Islam dinilai tidak becus dalam menjalankan tugasnya. Inilah yang selama ini diderita warga sipil yang hidup di bawah rezim diktator-dispotik dunia Islam.
Konsekuensinya, gelombang demokrasi bergerak sangat lamban, akibat hilangnya aktor sipil sebagai kelompok penekan. Aktor negara terkadang sulit diandalkan sebagai pilar demokratisasi dunia Islam. Kita tetap berharap pada asosiasi-asosiasi sipil secara sukarela, yang diharapkan terus aktif dalam ruang publik. Inilah salah satu pilar utama, di samping pilar pers, lembaga parlemen, dan kekuatan ekstra-konstitutional, untuk mendorong ke arah proses demokrasi di dunia Islam.
Negeri kita tercinta, Indonesia, menjadi laboratorium tumbuhnya demokrasi justru dari pojok representasi dunia Islam terbesar di dunia bernama Indonesia. Tentu, asal dengan syarat, kita semua terus mengawal proses demokrasi yang sedang berlangsung di negeri ini, agar bergerak ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih adil, lebih sejahtera, dan lebih demokratis, tentunya. Dengan begitu tesis-tesis orientalis barat akan berguguran dengan sendirinya.