Perang Identitas Ekonomi-Politik di Pilkada DKI Jakarta 2

photo author
- Kamis, 29 September 2016 | 23:22 WIB
images_berita_Sep16_1-ZAKY-Permana
images_berita_Sep16_1-ZAKY-Permana

Peristiwa Malari tahun 1974 oleh sebagian orang diyakini sebagai petaka yang terjadi karena sentimen identitas antara Amerika dengan etnis Cina. Pengusaha Cina memiliki sebagian besar dari seluruh modal swasta secara tidak proporsional, keterampilan usaha dan hubungaan-hubungan luar negeri. Kurusuhan yang menyasar mobil-mobil dan barang-barang produksi Jepang, gedung perkantoran dan bangunan milik keturunan Cina yang dirusak dan dibakar massa, dipercaya sebagai persaingan antara dua pimpinan militer, Jenderal Soemitro, yang pro teknokrat, IMF dan Amerika Serikat dengan Jenderal Ali Murtopo yang mewakili pendukung-pendukung kebijakan industrial yang bekerja sama dengan Jepang dan mayoritas etnis Cina.

 

(Baca: Perang Identitas Ekonomi-Politik di Pilkada DKI Jakarta 1)

Mengenai Amerika, tidak ada satu pun peristiwa sejarah di Indonesia yang terlewatkan sejak Indonesia merdeka, terlebih-lebih sejak masa Orde Baru yang disokong oleh Amerika, hingga saat ini. Bagi Amerika, Indonesia adalah negara yang sangat penting baik dalam hubungan politik, ekonomi, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, maupun sebagai mitra strategis untuk mengontrol kekuatan komunis di Asia.

Masih ingat kenapa Timor Timur direbut oleh Indonesia ketika krisis Lisabon tahun 1975? Tidak lain karena kelompok Fretelin Timor Timur ingin membentuk pemerintahan kiri merdeka yang bersikap responsif terhadap Tiongkok. Angkatan Darat tidak mungkin membiarkan Indonesia berdampingan dengan negara baru dengan kekuatan komunis, sehingga aksi militer menjadi pilihan Soeharto ketika perundingan dengan Portugal tidak pernah terjadi. Saat itu, Amerika sama sekali tidak keberatan dengan operasi militer yang dilakukan oleh Soeharto yang hasilnya dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh sebuah negara.

Pembelaan hak-hak asasi oleh Amerika Serikat mungkin mempunyai motif-motif yang baik, namun Amerika dikenal sebagai negara adidaya yang sangat memusuhi komunis sepanjang sejarah perang dingin tahun 1947 sampai 1991. Bahkan, Amerika memproyeksikan suatu citra “Flash Gordon”: seorang pahlawan super kulit putih yang terbang ke angkasa luar untuk membebaskan rakyat planet Mongo dari penindasan Ming yang ingin menghancurkan bumi. Ming the Merciles, seorang penguasa kulit kuning, digambarkan sebagai penindas oriental. Tokoh superhero Flash Gordon diangkat dari Comic Strip era 1930-an, artinya sentimen identitas terhadap komunis berkulit kuning itu sudah lama dikonstruksi.

Secara ideologis, Golkar tidak akan mendukung Ahok jika masih memegang ideologi pendiri Golkar, Orde Baru, di mana Soeharto tidak pernah suka dengan Poros Jakarta-Peking. Namun, kelompok yang menguasai Golkar saat ini adalah pengusaha, bukan militer, apalagi ketua umum Golkar Setya Novanto disebut-sebut sebagai keturunan etnis Cina. Ideologi militer saat ini ada dalam Partai Demokrat. SBY yang lama mengenyam pendidikan militer di Amerika Serikat, mengadopsi Partai Demokrat Amerika sebagai nama partai yang didirikannya tahun 2002, sehingga mengusung Agus Yudhoyono yang pernah dididik oleh Amerika sebagai calon Gubernur adalah pilihan ideologis. 

Memang, tidak menarik membicarakan sentimen identitas di masa pemilu, agak sensitif. Lebih baik berbicara program apa yang diusung oleh para kandidat untuk membangun Jakarta. Masyarakat Jakarta yang merupakan pemilih rasional akan memilih calon gubernur yang benar-benar hadir untuk rakyat. Mereka tidak akan terprovokasi secara destruktif oleh identitas calon gubernur yang berbeda.

Namun, saya ingin mengingatkan bahwa kita tidak boleh terjebak pada istilah pembangunan dan program pembangunan. Pembangunan boleh jadi, meminjam istilah Bourdieu, sebagai “symbolic violence” yaitu kekerasan atau penindasan simbolik terhadap rakyat melalui investasi asing, akumulasi modal, eksploitasi lingkungan dan penggusuran-penggusuran atas nama pembangunan. Garis politik “berdasarkan program” pun telah dilakukan selama Orde Baru yang memang melahirkan stabililitas, pembangunan fisik dan kemajuan ekonomi, tetapi terjadi keruntuhan demokrasi. 

Orientasi membangun Jakarta melalui program-program fisik jangan sampai meruntuhkan esensi demokrasi yang meniscayakan pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Membangun Jakarta bukan hanya secara fisik dengan melupakan rakyatnya, tetapi juga memberdayakan, memajukan dan memanusiakan manusianya. Demokrasi berkualitas dan pembangunan fisik yang humanis adalah tujuan Jakarta ke depan. 

Oleh karena itu, perbincangan soal perseteruan identitas di Pilkada Jakarta tidak lebih menarik daripada isu kemacetan dan banjir yang harus segera diselesaikan. Soalnya, malu punya negara yang ibukotanya selalu kebanjiran dan semakin macet dari hari ke hari. Entah dengan memindahkan ibukota ke daerah lain atau Provinsi Jawa Barat yang sangat luas mau berbaik hati menyumbangkan wilayahnya untuk pelebaran Jakarta. Semuanya harus dibicarakan serius karena menyangkut aturan yang harus diubah, pembangunan fisik, perubahan tata pemerintahan dan birokrasi, dinamisasi ekonomi dan politik dan persoalaan sosial budaya di masyarakat. Kalau persoalan sentimen identitas, hanya menjadi pembicaraan back stage untuk mendulang dukungan kelompok atau finansial bagi para cagub. Namanya juga sentimen identitas, ya sifatnya representasi kolektif kelompok, tidak general atau bukan untuk konsumsi publik.   

Dari semua hal itu, ada satu yang harus diingat bahwa tidak mudah menjadi Gubernur Jakarta, selain harus menyelesaikan semua persoalan pelik yang ada, juga bakal jadi korban su’udzon kapan saja. Para kandidat akan dituduh macam-macam, mulai dari mengusung kepentingan politik si ini dan si itu, memperjuangkan keinginan pengusaha ini dan itu, didanai si asing dan si aseng atau si arab, beredar isu SARA, sampai identitas Ahok sebagai keturunan Cina, Anis Baswedan etnis Arab dan Agus Yudhoyono pemuda lokal dukungan Amerika akan diperbincangkan seantero jagad. Hal itu tidak bisa dihindari. 

Richard Nixon saja sebelum dua kali terpilih menjadi Presiden Amerika, pernah gagal di pemilihan Gubernur California tahun 1962. Apalagi, menjadi Gubernur DKI Jakarta merupakan loncatan menjadi presiden seperti halnya Jokowi. 

Maka, pertarungan sebagai calon gubernur DKI Jakarta adalah pertarungan mental, gagasan, program, visi misi dan tujuan mulia untuk membangun Jakarta menjadi lebih baik. Apapun latar belakang dan identitas yang disandang, asal bukan demi kepentingan lain yang ada di panggung belakang.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X