"Belum pernah ada, dan hampir pasti tidak mungkin ada, negara demokratis-modern yang terkonsolidasi dengan rezim ekonomi pasar murni". Demikian tesis dari Juan J. Linz dan Alfred Stepan (2001). Sebab, setelah penguatan civil society, pelembagaan masyarakat politik, pengutamaan hukum, pengefektifan birokrasi, fase kelima dari konsolidasi demokrasi, adalah pelembagaan ekonomi masyarakat. Artinya, ketika ide demokrasi telah diimplementasikan, tugas selanjutnya adalah menyejahterakan rakyat (from welfare state to welfare society).
Konsep sejahtera sendiri memerlukan pemaknaan yang lebih riil melebihi kebutuhan akan kebebasan politik. Artinya, harus ada keniscayaan bahwa tugas utama konsolidasi demokrasi di masa transisi adalah mendesain "kecepatan yang diatur". Maksudnya, walaupun transisi kita memerlukan stabilitas politik dan keamanan. Stabilitas tidak harus menyerahkan politik pada tentara melainkan suatu upaya yang akan memberikan kenyamanan umum bagi seluruh kegiatan produktif di berbagai golongan masyarakat. Di sini produktivitas dan kegairahan kerja bisa ditingkatkan serta kepastian menikmati hasilnya bisa diciptakan.
Pengaruh positifnya, seperti yang kita rasakan, adalah pertumbuhan dan akumulasi hasil kerja yang terjadi hampir serempak, bukan saja di berbagai golongan masyarakat, melainkan juga antar daerah. Kendati tentu banyak hal harus ditingkatkan, stabilitas politik dan keamanan itu seakan-akan berfungsi sebagai lapisan udara, dengan apa masyarakat Indonesia secara bersama (bukan individual) mempertahankan hidup.
Namun, masyarakat kita setelah gegar reformasi justru terpuruk pada ekonomi yang sangat rendah. Kemerdekaan berpolitik, usaha penegakan hukum, dan liberalisasi ekonomi yang ditempuh pemerintahan hasil pemilu (yang katanya) demokratis belum menghasilkan masyarakat sejahtera. Kegagalan ini dikarenakan kita masih berpusing-pusing menikmati dan memperpanjang transisi serta menyerahkan pemaknaan dan realisasi kesejahteraan ekonomi pada teknokrat, politisi dan saudagar politik yang menjauhi rakyat.
Para tekhnokrat ini menjalankan negara dengan ideologi neo-liberal yang terlalu mengandalkan utang luar negeri, menggantungkan diri pada lembaga ekonomi asing dan beriman pada ekonomi pasar. Para tekhnokrat ini melupakan ekonomi domestik, menjual BUMN dengan murah, mengobral SDA secara sembrono dan membenci produk dalam negeri. Padahal, mengutip Juan J Linz dan Alfred Stepan (2001), ada tiga alasan suatu negara yang sedang transisi untuk menjauhi neo-liberal. Pertama, sehebat apapun ideologi neo-liberal, mereka masih memerlukan negara untuk berperan mensahkan seluruh transaksi ekonominya. Kedua, bahkan pasar yang paling hebat sekalipun pasti mengalami kegagalan-kegagalan pasar yang selalu harus dikoreksi agar ia berfungsi secara baik dalam rangka penyejahteraan masyarakatnya. Ketiga, demokrasi menuntut persaingan bebas yang berpijak pada prioritas masyarakat, bukan pada sekelompok kecil elit kaya.
Artinya, walaupun pemerintahan dipilih secara demokratis tetapi bila ia menabrak konstitusi, melanggar hak individu dan minoritas, tidak mematuhi hukum serta tidak memberikan peningkatan pemenuhan hak dasar masyarakat maka pemerintahan itu tidak layak disebut pemerintahan demokratis. Sebaliknya hanya layak mendapat julukan sebagai pemerintahan seakan-akan demokratis (pseudo-demokratis), bahkan Olle Tornquist menyebut demokrasi kaum penjahat rakyat (1999).
Setelah proses pemilu (katanya) ter-demokratis kita lewati, para politisi, saudagar, dan belitan utanglah problem selanjutnya yang kita terima. Politisi saudagar, mempertajam model politik perdagangan yang mengukur kemenangan berdasarkan hukum untung-rugi semata, tanpa peduli pada nasib rakyatnya. Politisi saudagar menguatkan negara kapling yang diwarisi oleh rezim orde baru (Orde Soeharto). Inilah politisi yang gagal memahami pesan dasar pendiri republik ini dan gagal mensejahterakan rakyat banyak, karena gagal memahami politik utang. Padahal, politik utang di luar politik yang lain adalah sumber malapetaka negara-negara post kolonial.
Memahami politik utang, sebagai cara bagi pemecahan problem negara-bangsa post kolonial, menjadi tugas maha penting. Karena Noreena Hertz (2001) mengatakan bahwa akibat globalisasi ekonomi, akan terjadi the death of democracy. Demokrasi sebagai konsep sederhana yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, akan berubah haluan menjadi dari rakyat, oleh elit, untuk “para investor kapitalis”. Apa buktinya? Para pemimpin negara bangsa post kolonial saat ini, demikian kata Hertz, memang dipilih oleh rakyat, tetapi mereka ternyata lebih sibuk untuk “melayani” pelaku kapitalis global yang tidak memilihnya. Sebab, para pemimpin negara-bangsa post kolonial, walau masih memperhitungkan para pemilih dalam negeri (domestic constituent), tetapi justru demi untuk mengelabuhi para konstituen inilah para pemimpin akan melakukan apa saja, asal para kapitalis yang telah mengglobal itu mau datang di negaranya.
Dengan segala cara, para pemimpin negara mengundang, merayu dan mendatangkan investor kapitalis agar menanam uangnya di negara yang ia pimpin. Tentu saja para pemimpin negara bersaing dengan keras karena para investor kapitalis hanya akan memilih negara yang memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi bisnis mereka. Kemudian, dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini (economics borderless), pemerintahan nasional tidak lebih dari sekedar the transmission belts bagi investor kapitalis, atau sebagai institusi perantara yang menyisip di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta terhimpit di antara mekanisme pengaturan global. Negara menjadi “daerah omong kosong”, pemimpin negara menjadi “budak kapitalime”, pemerintahan nasional menjadi “mitra manis”, dan rakyat menjadi tumbal para pemilik modal yang mengglobal, para kapitalis yang mendunia, cukong yang menguasai jagat raya.