Wasiat Anjing Untuk Sang Hakim

photo author
- Jumat, 16 Desember 2016 | 08:06 WIB
images_Wasiat-Anjing
images_Wasiat-Anjing

Apa yang aku tuliskan ini hanyalah cerita fiktif, sebagai sebuah renungan agar dapat dipetik hikmahnya. Bahwa ada kisah seorang pria menguburkan anjingnya di pekuburan kaum muslim. Sehingga, karena diduga menistakan umat Islam, maka ia dilaporkan kepada pihak yang berwajib untuk diadili di hadapan hakim.

Sang hakim pun bertanya, "Benarkah Anda menguburkan bangkai anjing di pekuburan khusus untuk orang Islam?"

Tanpa ragu pria tersebut menjawab, "Ya, benar, Yang Mulia. Aku menguburkan bangkai anjing itu di pekuburan orang Islam, karena anjing itu semasa hidup telah berwasiat seperti itu dan aku hanyalah berniat menjalankan wasiatnya."

Sang hakim yang nampaknya merasa diejek menimpali dengan garang, "Anda berbuat salah dengan menguburkan bangkai anjing bukan pada tempatnya. Aku akan menghukum Anda, dan sekarang, apakah Anda bermaksud menghina hakim?"

Mendengar teguran keras dari sang hakim, maka pria itu menimpali, "Maaf, Yang Mulia Bapak Hakim. Aku tidak bermaksud melecehkanmu, tetapi aku mohon izin menambahkan keterangan, bahwa anjing tersebut juga berwasiat agar aku memberikan sebagian harta miliknya sejumlah 1000 dinar (uang emas) untuk Yang Mulia."

Tiba-tiba saja, setelah mendengar wasiat anjing tersebut, ekspresi wajah sang hakim menampakkan kegembiraan, dan ia berkata, "Sungguh seekor anjing yang baik, telah berwasiat dengan amal yang sangat baik. Tentulah anjing tersebut adalah keturunan anjing Ashabul Kahfi yang dijamin surga itu."

Betapa sang hakim yang semula garang sangat ingin menghukum, tiba-tiba suasana hatinya secepat kilat berubah ingin membebaskannya, hanya karena ada "syaiun 'ajib (sesuatu yang mengagumkan)", sehingga ia pun segera mendapatkan dalil bahwa anjing tersebut adalah keturunan anjing Ashabul Kahfi, sebagai dalih untuk membenarkan keputusannya.

Begitulah, kadangkala para hakim itu bekerja mengikuti jalan pikirannya sendiri, yang amat mungkin dipengaruhi oleh sesuatu yang menyenangkan hatinya, menguntungkan pribadinya, atau pengaruh lainnya.

Seorang hakim pun sangat mungkin memutus perkara secara tidak adil, tidak jujur, dan tidak obyektif, karena ia tidak bebas baik dari "tekanan" dari dalam dirinya sendiri berupa ketundukan kepada hawa nafsu dan ketidaktahuan, maupun "tekanan" dari luar dirinya sendiri berupa ancaman, paksaan pihak lain, atau karena faktor politik. Sehingga boleh jadi sebuah keputusan hakim itu merugikan orang yang senyatanya benar-benar tidak bersalah dengan memvonisnya bersalah atau sebaliknya, membebaskan orang yang bersalah.

Hakim yang benar hakim adalah yang mengetahui tanpa ragu hakikat kebenaran dan tanpa rasa takut memutuskan dengan keyakinan yang benar. Yaitu hakim yang jujur, adil, dan obyektif dalam memberikan penilaian atas persoalan yang disengketakan. Dalam memutus perkara ia bersikap independen, sehingga ia dengan berani melawan "tekanan" baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar dirinya, berapa pun jumlahnya.

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X