Potret Anggaran Alutsista TNI RAPBN 2018

photo author
- Jumat, 18 Agustus 2017 | 06:18 WIB
images_berita_Ags17_TIM-Anggaran-TNI
images_berita_Ags17_TIM-Anggaran-TNI

Klikanggaran.com (18/8/2017) - Ada rasa kecewa bagi military fansboy dalam RAPBN 2018 yang disampaikan oleh Presiden Jokowi 16 Agustus lalu di gedung parlemen. Pasalnya, anggaran untuk alat utama sistem persenjataan (alutsista) tidak sampai 10 triliun dari total 105,7 triliun anggaran Kementerian Pertahanan. Kenapa kecewa? Melihat ketegangan yang terjadi di Laut Cina Selatan, perang retorika Trump dan Jong Un yang sewaktu-waktu bisa menjadi perang terbuka, keinginan tiba-tiba pemerintah Amerika untuk melakukan intervensi militer dalam krisis politik di Venezuela, atau belum berakhirnya drama ISIS di Suriah dan Irak. Terdekat konflik oleh para pendukung ISIS di Marawi dengan pemerintah Filipina dan MILF yang membuat reputasi militer Filipina anjlok. Target selesai hanya beberapa minggu namun hingga tiga bulan belum juga ditaklukan. Ini masih ditambah belum gaharnya sejumlah arsenal strategis milik TNI yang sebagian di antaranya berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Vietnam.

Ambilah contoh Vietnam yang sedikitnya memiliki 36 unit pesawat heavy fighter SU-30 MK2 dan telah kedatangan 6 unit kapal selam Kilo Class, tiba-tiba nelayannya makin pede bermain-main di sekitar Laut Natuna Utara (LCS) meski penenggelaman kapal nelayan asing terus berlangsung. Sementara Indonesia, dalam data resminya baru memiliki 3 kapal selama operasional, 2 unit tipe U-209 dan 1 unit Changbogo Class, serta sedikitnya 24 unit SU 27/30MK2. Lihat pula Singapura yang asyik dengan pengelolaan FIR di langit Batam hingga Natuna karena memiliki heavy fighter F-15SG, salah satu seri terbaik, dan kapal selam kelas Archer. Ini masih ditambah daftar akan hadirnya pesawat Gen-5 (stealth fighter) F-35 dan kapal selam tipe 218SG. Sementara Malaysia konon memiliki versi SU-30MKM yang diklaim lebih canggih dari yang dimiliki Indonesia.

Ada sejumlah prediksi bahwa Indonesia belum tentu akan berperang dalam waktu dekat. Bisa jadi ini benar mengingat lingkungan geo-politik kawasan ASEAN dan Pasifik tidak semerah Timur Tengah. Namun sejatinya, Alutsista bukan hanya untuk digunakan dalam perang, tapi sebagai efek penggentar (deterrence effect). Korea Selatan meski kaya dan punya alutsista modern tetap saja akan berpikir beribu kali untuk memulai perang terbuka dengan saudaranya, Korea Utara yang disinyalir memiliki hulu ledak nuklir dan rudal balistik/ICBM (intercontinental ballistic missile). Untuk meredakan ketegangan Korsel lebih memilih jalur diplomatik dan rayuan ekonomi, seperti pembangunan pusat industri Kaesong di zona demiliterisasi. Meski tahun lalu ditutup sebagai balasan atas kembali mengerasnya sikap Jong Un. Pun Israel yang sering kali berlaga bak preman juga sama, seringkali bersikap sesuka-sukanya meski berulangkali mendapat resolusi dari DK PBB. Di luar perang konvensional, negara versus negara, alutsista juga punya peran signifikan dalam menghadapi wabah asymmetric warfare yang kini melanda banyak negara.

Anggaran Pertahanan dan Kreatifitas

Amerika Serikat pernah uring-uringan dengan sekutunya di Eropa. Apa pasal? Anggota-anggota NATO menurunkan anggaran pertahanannya di bawah angka ideal, yakni 2 persen dari GDP. Menurunnya anggaran disinyalir membuat kesiapan perang menjadi menurun. Perhatian ini terjadi setelah dianeksasinya Krimea oleh Kremlin. Ukraina yang digadang menjadi anggota baru NATO dibiarkan gagal mengamankan wilayahnya. Padahal Amerika yang selalu bertindak sebagai pemimpin NATO sedang mengarsir negara-negara bekas Soviet untuk semakin menjepit posisi Rusia. Terutama untuk penempatan proyek Perisai Rudal di Eropa yang digagas oleh Presiden Bush Jr.

Sejak lama anggaran pertahanan Indonesia tidak pernah mencapai angka 2 persen dari GDP. Namun demikian, ada kecenderungan peningkatan anggaran pertahanan dari tahun ke tahun. Kenaikan anggaran dari tahun 2010 hingga 2017 tercatat sebesar 154 persen. Tahun ini, meski hanya 0.8 persen atau 105 triliun (APBNP 2017) anggaran pertahanan Indonesia tertinggi kedua di bawah Singapura. Anggaran yang besar dan secara kuantitas memiliki jumlah tentara regular yang lebih sedikit jelas membuat anggaran alutsista Singapura memiliki porsi lebih besar dari Indonesia.

Tentu agak miris, sebagaimana diulas di awal, anggaran untuk belanja alutsista kurang dari 10 triliun. Bayangkan, saat ini Indonesia telah menandatangani kontrak pembelian untuk 11 unit, versi resminya, pesawat tempur SU-35, Gen 4.5, lengkap dengan persenjataannya sebesar 600 juta dollar atau setara 7,9 triliun rupiah. Dengan pembayarannya multi years tentu tidak akan menyedot secara total anggaran alutsista tahunan tapi bisa dibayangkan besarnya alokasi pertahun. Itu baru satu matra angkatan udara yang dalam RAPBN 2018 hanya mendapat jatah 1,96 triliun. Jika anggaran tiap tahun sama, maka bisa dipastikan baru tahun keempat SU-35 lunas. Padahal kebutuhan penggantian atau pengadaan radar dan rudal pertahanan udara (surface to air missile) medium juga sudah mendesak jika mengacu pada MEF 2. Belum lagi sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk alutsista yang telah maupun akan datang.

Di tengah melesunya perekonomian global dan angka perumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan hanya 5.4 persen membuat anggaran alutsista dalam beberapa tahun ke depan tidak akan mengalami peningkatan cukup signifikan. Pun pemerintah sejauh ini tetap memperioritaskan anggaran infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Ini bisa dimaklumi mengingat di empat sektor itulah yang paling dibutuhkan masyarakat saat ini.

Perlunya mendorong peningkatan kreatifitas dalam mengatasi anggaran yang minim perlu terus ditingkatkan. Misalnya saja pembelian SU 35 yang menggunakan skema imbal dagang dengan produk perkebunan seperti karet. Selain menjamin ketersediaan pasar dan peningkatan harga karet tentu juga menjaga surplus perdagangan dengan Rusia. Imbasnya lainnya menghemat devisa negara.

Dan sebagaimana amanat UU Industri Pertahanan, adanya skema transfer of technology, kewajiban penggunaan komponen lokal, dan prioritas pembelian dari industri pertahanan dalam negeri akan membuat harga beli alutsista berkurang sehingga anggaran yang terbilang kecil akan terserap secara maksimal. Pastinya, selain untuk pengadaan alutsista yang memiiki deterrence effect di kawasan, saat ini yang cukup mendesak adalah alutsista yang mempu mengatasi ancaman perang non-konvensional.

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X