Klikanggaran.com (18/8/2017) - Promosi Meikarta sangat gencar. Berbagai bentuk iklan kawasan yang dikembangkan oleh LIPPO itu pun muncul di berbagai media. Para salesnya sangat agresif, di mana-mana mereka ditemukan dan dengan gigihnya mereka menawarkan Meikarta. Mereka pun menggunakan berbagai platform media sosial untuk menjaring konsumen mereka. Selain itu, iklan Meikarta hampir selalu muncul di media online arus utama.
Meikarta juga ramai dengan kontroversi. Beberapa kontroversi mengemukakan ke hadapan publik, seperti izin yang belum diterbitkan, tetapi promosi penjulan Meikarta terus berjalan. Banyak pihak yang menilai tindakan seperti itu sebagai sikap arogan pengembang yang merasa yakin bahwa izin akan segera diterbitkan. Selain itu, ada kontroversi terkait nama Meikarta itu sendiri. Baik kubu yang pro maupun kubu yang kontra bersepakat bahwa Meikarta terdiri atas dua kata, yaitu Mei dan karta. Kata terakhir, yaitu karta, tidak ada yang mempersalahkan sebab kata itu lazim melekat pada nama daerah di Indonesia, seperti pada Jakarta dan Purwakarta. Namun, untuk kata Mei, silang pendapat terjadi. Satu pihak menyebut Mei sebagai nama ibu sang pemilik LIPPO, sebaliknya ada juga yang menyebut bahwa Mei adalah bulan Mei sebagai bulan diresmikannya proyek tersebut. Mana yang benar?
Terlepas dari polemik apakah Mei itu nama ibu sang pemilik LIPPO ataukah nama bulan, proses penamaan terkait sebuah kawasan di Indonesia seharusnya mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembakuan Nama Rupabumi. Perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan rupabumi adalah bagian dari permukaan bumi yang dapat dikenal identitasnya sebagai unsur alam dan unsur buatan manusia. Dalam permen itu dijelaskan bahwa yang dimaksud unsur alam berarti terbentuk secara alami, contohnya gunung, pulau, sungai, danau, dan sebagainya. Sebaliknya, yang dimaksud unsur buatan manusia adalah rupabumi yang dibuat oleh manusia, seperti bendungan, jembatan, bandara, kawasan permukiman, dan sebagainya. Jadi, Meikarta yang merupakan kawasan permukiman dapat dikelompokkan sebagai rupabumi unsur buatan manusia.
Dalam Permen No 39 tahun 2008 itu disebutkan beberapa prinsip penamaan rupabumi, antara lain (1) penggunaan nama lokal, (2) menghormati keberadaan suku, agama, ras dan golongan, dan (3) menghindari nama diri atau orang yang masih hidup. Sebetulnya ada 8 prinsip, tetapi 3 prinsip tersebut tampaknya yang diabaikan pengembang ketika menggabungkan kata mei dan karta.
Penggunaan nama lokal dimaksudkan untuk melestarikan dan menghormati masyarakat setempat (pasal 9). Kawasan tempat Meikarta berdiri secara lokal dikenal dengan sebutan Cikarang. Sebab itu, penggunaan nama Meikarta jelas tidak melestarikan atau menghormati masyarakat setempat. Semestinya nama Cikarang tetap dipertahankan sebagaimana LIPPO pernah memberi nama pada kawasan di daerah sama yang pernah dikembangkannya dengan sebutan LIPPO Cikarang. Jelas pilihan kata Meikarta memiliki arti dan keberartian yang sangat penting bagi pemilik LIPPO. Dari sinilah, rasanya jika yang dimaksud dengan Mei adalah bulan peluncuran, bagi saya kok terasa jauh dari arti dan keberartian sangat penting untuk si pemilik LIPPO.
Selanjutnya, prinsip menghormati keberadaan suku, agama, ras, dan golongan itu dimaksudkan sebagai menjaga kerukunan, menghindari konflik, dan ketersinggungan di masyarakat (Pasal 11). Apakah Meikarta seperti itu? Polemik terkait nama saja sudah cukup mencerminkan bahwa nama itu berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat. Disengaja atau tidak, asal-usul kata Meikarta yang disamarkan adalah sebuah ketakutan akan munculnya kecurigaan dan konflik. Jika sadar akan muncul kecurigaan dan konflik, kenapa nama itu masih terus dipakai?
Pada pasal 12 dijelaskan bahwa nama orang yang sudah meninggal dunia paling sedikit lima tahun dan sangat berjasa bagi negara dan atau penduduk setempat digunakan sebagai nama rupabumi. Pertanyaannya adalah, jika Mei itu diambil dari nama ibu pemilik LIPPO, apakah sang Ibu sudah sangat berjasa bagi masyarakat Cikarang dan sekitarnya, yang tanahnya dijadikan kawasan Meikarta? Rasa-rasanya 99% masyarakat di sana tidak mengenal nama lengkap ibu dari bos besar LIPPO.
Dari uraian di atas, tampak bahwa pemberian nama Meikarta pada kawasan Cikarang yang dikembangkan oleh LIPPO sangat mengabaikan Permendagri Nomor 38 Tahun 2008. Pemilik LIPPO harus memikirkan nama baru pengganti Meikarta. Rasanya, bagi LIPPO, mencari nama buat sebuah kawasan bukanlah hal yang sulit. Pengembang sangat ahli dalam pemberian nama kawasan, buktinya banyak nama-nama keren yang diciptakan oleh para pengembang, yang bertebaran di wilayah Jabodetabek. Dan, pastinya mereka punya tim yang tidak akan kekurangan ide, apalagi hanya untuk sebuah nama. Bukan begitu?
Ditulis oleh Mangkamil, Founder Klikanggaran.com pada Jumat (18/8/2017).