Era Keterbukaan Informasi Publik, UU ITE Sebagai Batasan?

photo author
- Sabtu, 4 November 2017 | 18:46 WIB
images_berita_Okt17_HERI-Era
images_berita_Okt17_HERI-Era

Jakarta, Klikanggaran.com 5/11/2017 - Berawal dari gerakan transparansi informasi dan gerakan memerangi korupsi, pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang menjadi regulasi bagi setiap individu masyarakat untuk mendapatkan hak atas informasi.

Regulasi ini diimplementasikan mulai dari pemerintah tingkat pusat hingga tingkat daerah. Bahkan, per 1 Nopember 2013, Kementerian Kominfo mencatat 240 dari 693 atau 32,76 persen badan public, yakni satuan institusi pemerintah telah membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), yang bertugas mengelola dan memberikan pelayanan informasi.

Di tahun 2017, angka ini mengalami kenaikan yang luar biasa, yakni mencapai 483 PPID dari 708 atau 68,22% badan publik yang ada. Hal tersebut patut diapresiasi, bahwa pemerintah dengan komitmennya terhadap keterbukaan informasi tidak main-main.

Sesuai prinsip keterbukaan dalam demokrasi, UU KIP merupakan oksigen segar bagi masyarakat, dimana pemerintah mengharuskan membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan negara. Dan, dalam keterbukaan informasi diatur mengenai hak dan tanggung jawab serta kewajiban masyarakat dan penyelenggara negara secara berimbang. Agar masyarakat pun mempunyai perlindungan hukum terhadap haknya untuk memperoleh dan menyampaikan informasi tentang pemerintah.

Tujuan keterbukaan informasi ini adalah untuk memastikan bahwa pemerintah lebih akuntabel dan kredibel dalam menyediakan informasi dan dokumen yang sesuai dengan permintaan publik. Dengan adanya transparansi, masyarakat dapat ikut berpartisipasi aktif mengontrol setiap kebijakan pemerintah.

Masyarakat pun berhak menyampaikan keluhan, saran, atau kritik terhadap pemerintah. Di lain sisi kebebasan untuk menggunakan hak tersebut harus disertai tanggung jawab untuk mengemukakan fakta dan kejadian yang sebenarnya dengan menaati aturan moral serta hukum yang berlaku. Tapi, sering kita temukan  bahwa keluhan, saran, dan kritik masyarakat tidak ditanggapi dengan baik dan benar. Pada akhirnya pemerintahan yang baik (Good Governance) tidak akan pernah terwujud tanpa keperdulian pemerintah untuk menyadari bahwa selama ini pemerintah memiliki kewajiban kepada masyarakat untuk menyampaikan informasi penyelenggaraan pemerintah seperti dana desa, pembuatan jalan tol, pembangunan sarana dan prasarana publik, dan sebagainya.

Dengan adanya teknologi informasi akses internet yang kian pesat, jelas mendukung sekali terhadap keterbukaan informasi, selain kemudahan akses informasi, masyarakat juga dapat dengan mudah menyebarluaskan informasi apa saja di dunia internet. Adanya UU ITE, mulanya muncul untuk melindungi kepentingan negara, publik, dan swasta dari kejahatan siber (cyber crime). Di dalamnya terdapat 3 pasal mengenai defamation (pencemaran nama baik), penodaan agama, dan ancaman online. Semula pasal tersebut dimaksud untuk menangkap penjahat siber, tapi yang sering terjadi dipakai untuk mengkriminalisasi masyarakat yang menyampaikan keluhan, opini, dan kritiknya kepada pemerintah, badan publik, dan para pejabat.

Kasus-kasus seperti Dhandy Dwi Laksono yang dituding dengan tuntutan pidana 4 tahun dan atau denda Rp 750 juta karena dianggap mencemarkan nama ketua partai tertentu, Prita Mulyasari yang dianggap mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional, kemudian Yusniar yang membuat status di Facebook tentang DRPD, merupakan sederatan kasus bagaimana UU ITE mengancam hak menyampaikan keluhan, opini, dan kritisi masyarakat.

Pada akhirnya, UU ITE seperti jerat pembatas bagi masyarakat, di satu sisi komitmen pemerintah sungguh luar biasa atas keterbukaan informasi yang sudah dijalankannya, di lain sisi membatasi masyarakat dalam melakukan hak-hak mereka di dunia internet.

Oleh sebab itu, sebagai masyarakat yang cerdas maka keluhan, opini, dan kritik yang disampaikan sebatas pada instansi terkait saja, serta harus dilandaskan pada data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara norma dan hukum. Sehingga informasi yang disebar juga mampu memberikan edukasi serta menambah khasanah ilmu bagi si pembacanya.

Demikian disampaikan oleh Bagus Al-Fatah, Mahasiswa Universitas Krisnadwipayana, pada Klikanggaran.com di Jakarta, Sabtu (4/11/2017).

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X