opini

SAPARDI, LELAKI TUA DAN LAUT, SERTA KISAH PUISI ESAI

Minggu, 19 Juli 2020 | 15:17 WIB
IMG_20200719_151125

Betapa kaget Santiago. Susah payah ia mengalahkan Ikan. Sudah disiapkannya berita baik untuk penduduk. Kini ia hanya membawa tulang saja.


Nelayan tua itu pulang. Walau yang tersisa hanya kerangka tulang ikan, tapi penduduk tahu, itu ikan yang sangat besar. Penduduk memberi hormat padanya.


Santiago, lelaki tua itu, nelayan yang sudah melemah itu, menyadari. Fisiknya boleh menua. Tapi tangkapan ikan besar itu, walau hanya tersisa tulang, menjadi bukti. Spiritnya masih sangat kuat. Ia tidak menyerah. Ia tidak kalah. Ia terus berjuang.


-000-


Itulah kali pertama saya mengenal sentuhan Sapardi Djoko Damono. Sapardi yang menerjemahkan novel itu menjadi enak dibaca. Indah. Mengalir. Gurih.


Nama Sapardi Djoko Damono mulai menetap di memori saya.


Saat itu, Sapardi sudah menjadi penyair terkenal. Buku puisinya Dukamu Abadi, terbit tahun 1969. Itu 12 tahun sebelum Sapardi menerjemahkan novel.


Sudah terbit pula tiga buku puisinya yang lain: Akuarium (1974), Mata Pisau (1974), serta Perahu Kertas (1983).


Tapi saya saat tak banyak membaca puisi Sapardi. Saya lebih senang fiksi yang banyak drama.


Pertemuan saya berikutnya dengan Sapardi di tahun 2012. Sekitar 30 tahun kemudian. Ini pertemuan penting dalam hidup saya sebagai penulis puisi. Sekitar 3 bulan lamanya, saya intens berjumpa dengan Sapardi.


Saya sedang menjadi konsultan politik. Sudah 9 tahun saya tenggelam di dunia politik praktis dan riset opini publik. Saya juga mulai merintis usaha kecil - kecilan.


Sudah 9 tahun pula saya tak lagi menulis kolom di koran. Padahal dulu, saya penulis kolom yang yang produktif sekali. Sudah 1000 kolom saya tulis. Dan sudah pula sebagian kolom dibukukan menjadi sekitar 20 buku. Satu kumpulan kolom di satu koran menjadi satu buku.


Kerinduan saya menulis datang lagi. Tapi kali ini tidak esai, tidak kolom. Kepada teman teman dekat, saya katakan saya “hamil tua.” Saya ingin menulis lagi. Itu dunia lama yang mendarah daging.


Saya ingin menulis puisi. Kisah yang ingin saya ekspresikan kasus diskriminasi di Indonesia. Ia memfiksikan kisah sebenarnya. Semacam historical fiction. Atau true story- Fiction. Gabungan fakta dan fiksi. Kombinasi cerita dan berita.


Pola itu tak sesuai dengan puisi yang ada sekarang. Saya ingin puisi panjang seperti novel. Juga ada catatan kaki seperi makalah ilmiah. Ini kebutuhan kisah diskriminasi itu.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB