Guncangan tenaga kerja
Guncangan dari sisi produksi ini disebut juga guncangan pada pasar tenaga kerja (labour supply shock). Menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), hingga 20 April 2020, jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK sebanyak 2,8 juta orang, terbanyak di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Barat.
Jumlah PHK yang dirilis Kemenaker ini sebagian besar adalah PHK di sektor formal. Jumlah PHK yang sebenarnya bisa jadi jauh lebih besar dari jumlah ini, karena pekerja pada sektor informal lebih rentan terkena dampak pandemi Covid-19.
Guncangan kedua terjadi pada sisi permintaan atau demand shock. Guncangan permintaan yang negatif terjadi karena penurunan kemampuan atau kemauan konsumen untuk membeli barang dan jasa, menyebabkan permintaan agregat menurun. Guncangan permintaan dapat juga terjadi sebagai dorongan dari sisi produksi.
Pekerja yang terkena PHK akan kehilangan pendapatan, sehingga permintaan agregat terhadap barang dan jasa berkurang. Selain itu, pembatasan mobilitas masyarakat juga telah mengubah pola konsumsi masyarakat dan mengurangi permintaan secara drastis pada hampir semua sektor. Penyebaran Covid-19 yang belum diketahui kapan berakhir, juga mendorong sikap hati-hati masyarakat dalam melakukan spending dan cenderung mengurangi kemauan belanja dan menunda belanja yang tidak perlu.
Apabila guncangan pada produksi lebih besar dari guncangan pada permintaan, maka tekanan inflasi akan terjadi. Sebaliknya, apabila permintaan turun lebih besar dari penurunan produksi agregat, maka deflasi yang akan terjadi, keduanya menjadi beban perekonomian.
PDB anjlok
Pada saat guncangan produksi dan guncangan permintaan yang negatif terjadi bersamaan, maka PDB akan anjlok secara signifikan. Kondisi seperti ini yang sedang kita alami. Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2020 (Januari, Februari, Maret) adalah 2,97%, terkontraksi sebesar 2,41% dari kuartal IV 2019.
Kinerja ekonomi di kuartal II 2020 (April, Mei, Juni) diperkirakan akan lebih rendah karena PSBB di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah baru dimulai awal April hingga awal Mei 2020. PSBB di wilayah ini mendorong guncangan produksi dan permintaan secara nasional karena kontribusi provinsi-provinsi ini terhadap pembentukan PDB nasional mencapai lebih dari 59%.
Selain itu, apabila konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari 50% PDB nasional mengalami guncangan, maka PDB akan terkontraksi secara tajam. Kontraksi PDB akan membawa masalah ekonomi dan kemanusiaan, dan menjadi opportunity cost yang mahal dari PSBB.
Sekarang kita paham bahwa PSBB diikuti opportunity cost. Kemudian dalam beberapa pekan terakhir, imbauan pemerintah untuk bersiap masuk dalam tatanan hidup "normal baru" (the new normal) semakin menguat.
Di dalam video yang diunggah Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden pada tanggal 7 Mei 2020, Presiden Joko Widodo mengimbau masyarakat Indonesia untuk berdamai dengan Covid-19.
Moda transportasi komersial kembali beroperasi setelah masa PSBB. Lalu Kementrian BUMN dan Aparatur Sipil Negara dipersiapkan untuk bekerja dalam situasi normal yang baru. Di masa pandemi Covid-19 ini, hidup dalam "normal baru" dapat diartikan bahwa kita menjalani aktivitas sehari-hari meski Covid-19 belum teratasi.
Dalam kondisi normal yang baru ini, kita harus menerapkan dan mematuhi pedoman kesehatan agar terhindar dari Covid-19. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga telah merilis Paket Panduan Lintas Sektor Tanggap Covid-19 dengan judul menuju situasi ‘Normal Yang Baru’ tertanggal 16 Mei 2020. Meski dokumen ini ditujukan untuk kepala gugus tugas Covid-19, pada "normal baru" tersebut.
Normal baru