Jakarta,Klikanggaran.com - Covid-19 dideklarasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai darurat kesehatan dan menjadi pandemi global sejak Januari 2020. Darurat kesehatan akibat pandemi Covid-19 juga terjadi di Indonesia. Secara nasional, hingga tanggal 7 Juni 2020, jumlah penderita positif Covid-19 sebanyak 31,186 orang, pasien sembuh 10,498 orang, dan yang meninggal 1,851 orang.
Kita semua merasakan pandemi ini membawa dampak ekonomi dan sosial yang tidak baik bagi kehidupan. Salah satu kebijakan penting yang diambil pemerintah untuk menghambat penyebaran Covid-19 adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
PSBB setidaknya diikuti penutupan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum lainnya. Wilayah Provinsi DKI Jakarta yang menjadi pusat penyebaran Covid-19 menjadi wilayah yang pertama kali menjalankan PSBB, lalu diikuti beberapa provinsi lain seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Mengapa harus melakukan PSBB? Mari kita lihat dari perspektif ekonomi. Di dalam teori ekonomi ada istilah pilihan atas keputusan yang tidak mudah dilakukan atau nontrivial option-value.
Jika kita dihadapkan pada situasi ekonomi dengan ketidakpastian yang tinggi (high economic uncertainty) seperti pandemi Covid-19 ini, maka semua strategi ekonomi yang dipilih bukanlah pilihan yang mudah, karena biaya dan manfaat yang tidak sebanding. Memilih membiarkan masyarakat melakukan aktivitas secara normal akan membahayakan kehidupan, namun memilih membatasi aktivitas dan mobilitas pun akan membahayakan perekonomian.
Lalu strategi apa yang sebaiknya diambil dalam situasi penuh ketidakpastian? Kembali lagi pada teori ekonomi, jika kita berada dalam situasi dengan ketidakpastian yang tinggi, namun harus membuat keputusan tanpa mengetahui hasil pasti dari keputusan itu, maka pendekatan teori utilitas yang diharapkan (theory of expected utility) dapat diadopsi.
Menurut teori ini, pada saat kita memilih suatu tindakan ekonomi, kita akan memilih tindakan yang akan menghasilkan utilitas tertinggi yang diharapkan. Sejarah pandemi global menunjukkan, pembatasan aktivitas manusia adalah pilihan yang menghasilkan utilitas tertinggi yang diharapkan.
Pembatasan aktivitas manusia
Jadi mari kita pahami bahwa mengacu pada teori utilitas yang diharapkan, membatasi aktivitas manusia merupakan stratregi yang dapat memberikan utilitas terbaik dalam situasi ketidakpastian. Pemerintah di berbagai negara lalu mengambil pilihan tersebut, termasuk pemerintah Indonesia.
Pembatasan aktivitas manusia ada yang radikal seperti lockdown dan shutdown secara masif pada berbagai aktivitas ekonomi. Ada pula yang moderat seperti di Indonesia, yaitu PSBB yang membatasi aktivitas manusia berskala besar, namun masih memberi izin kegiatan ekonomi yang bersifat essential.
Sekarang mari kita telaah biaya ekonomi dari PSBB. PSBB telah menciptakan guncangan (shock) terhadap perekonomian, yaitu guncangan pada produksi (supply shock) dan guncangan pada permintaan (demand shock).
Pada masa pandemi ini, kedua guncangan ini bersifat negatif (negative shock). Guncangan produksi yang bersifat negatif adalah situasi di mana kapasitas produksi dalam menghasilkan barang dan jasa mengalami penurunan, menyebabkan penawaran agregat menurun. Guncangan negatif ini terjadi karena PSBB menyebabkan berbagai sektor menghentikan atau mengurangi volume produksi, pengurangan tenaga kerja.
Pengurangan tenaga kerja juga terjadi karena turunnya permintaan barang dan jasa sebagai akibat pembatasan mobilitas masyarakat. Penyebab lain adalah faktor risiko kesehatan dan keselamatan karyawan menyebabkan penutupan produksi.
Guncangan produksi juga terjadi karena ada karyawan yang tidak dapat bekerja karena dalam perawatan atau karena merawat anggota keluarga yang terpapar Covid-19. Adapula karyawan yang tidak dapat bekerja karena pembatasan perjalanan dan upaya karantina.