opini

Kartu Prakerja: Kecap Manis Cap Layangan Putus

Sabtu, 30 Mei 2020 | 16:26 WIB
Prakerja Jokowi

Bisnis venture capital di dunia startup adalah bisnis yang berisiko tinggi sekali. Penuh intrik, spekulasi, manipulasi angka, dan tertutup. Memerlukan pembentukan opini publik yang solid. Mungkin hanya 1-2% yang untung secara operasional, lainnya almarhum.


Tapi rupanya ada tanda-tanda pemerintah mau ‘bermain’ di lapangan ini.


Mengintegrasikan platform digital sebagai mitra Kartu Prakerja dan mengalokasikan Rp5,6 triliun kelihatannya baru satu langkah. Jika tidak dipelototi, di bawah Presiden Jokowi, pemerintah akan bertindak tak ubahnya venture capitalist!


Payung hukumnya sudah ada dan berlaku mulai 20 Mei 2020. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah (diteken Menkeu Sri Mulyani). Ini turunan dari PP 63/2019 tentang Investasi Pemerintah (diteken Presiden Jokowi).


“Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/ atau manfaat lainnya.”


Dalam PMK 53/2020 ini disebutkan investasi langsung berupa pemberian PINJAMAN yang dapat digunakan untuk pembangunan di bidang infrastruktur dan bidang lainnya, yakni industri kreatif dan startup. (Pasal 59 ayat 2 huruf b).


PMK itu juga mengatur investasi pemerintah dapat dilakukan pada saham yang tidak tercatat dan/atau tidak diperdagangkan di bursa efek. (Pasal 45 ayat 3)


PMK 53/2020 itu konsisten dengan semangat Perpres 74/2017 tentang Road Map Ecommerce (diteken Presiden Jokowi) yang menjamin skema penyertaan modal melalui VC/angel investor, alternatif pendanaan menggunakan skema pelopor urun dana, dan diperbolehkannya pihak asing memiliki saham hingga 100% di perusahaan penyedia platform berbasis elektronik dengan nilai investasi di atas Rp100 miliar.


Pikiran baiknya adalah pinjaman itu kelak bisa diakses oleh startup-startup UMKM dan industri kreatif—termasuk para seniman—untuk permodalan (ini bagus!).


Tapi bagamana jika sebaliknya yang terjadi. Uang negara dipinjamkan oleh pemerintah kepada segelintir perusahaan startup (marketplace, superapp, digital content dll) yang model bisnisnya digerakkan oleh venture capitalist asing menggunakan cara spekulatif dan manipulasi valuasi untuk mengambil untung sebanyak-banyaknya melalui berbagai exit strategy (divestasi). Atau pemerintah malah menanam saham di perusahaan-perusahaan startup yang konon valuasinya besar-besar itu.


Bisa ke situ kan arahnya? Memangnya tidak ada lobi-lobi, memangnya tidak ada rente? Meskipun yang keluar di siaran pers: "Senantiasa mendukung kebijakan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Ini merupakan babak baru kemitraan produktif antara pemerintah dan pelaku usaha (B2G)."


Kecap manis cap layangan putus.


Bayangkan jika pinjaman gagal bayar, lalu pailit. Berapa aset (boedel pailit) yang bisa dipakai untuk bayar utang? Contoh Shopee yang katanya lagi leading sekarang, holdingnya adalah SEA Limited (badan hukum Singapura). Laporan Keuangan 2019 (audited) mencatat rugi bersih konsolidasi US$1,45 miliar (Rp21 triliun), empat tahun ke belakang juga rugi terus. Aset fisik terbesar mereka adalah komputer yang umurnya 3-4 tahun tercatat di buku sebesar US$339,2 juta (Rp4 triliun).


Kalau salah kelola, bisa jadi negara ini bangkrut lalu banting setir buka usaha rental dan jasa penulisan skripsi.


Salam 5,6 Triliun.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB