opini

Luhut dan Pekerja Indonesia, Rakyat Sudah Lelah

Jumat, 15 Mei 2020 | 03:46 WIB
Luhut dan Pekerja Indonesia


Klikanggaran.com - Luhut Binsar Panjaitan, mantan Jenderal Kopassus dan sekarang Menko Maritim dan Investasi, tidak pernah lepas dari kontroversi. Setelah perseteruannya dengan Said Didu, ia menimba kecaman gencar.


LBP, demikian Luhut biasa disebut orang, dituduh pengkhianat di media sosial karena sementara wabah corona, mem-PHK jutaan pekerja Indonesia dan ia mengantarkan kedatangan 49 orang TKA Cina ke Konawe. Tidak hanya itu, LBP sekarang bertabrakan dengan Gubernur Ali Mazi, DPRD Sulawesi Tenggara dan Bupati Konawe setelah berencana mempersilakan kedatangan 500 TKA Cina ke wilayah itu.


Apa alasan LBP menggelar karpet merah untuk TKA Cina?


Dalam pernyataannya, Luhut meragukan kapasitas pekerja Indonesia. Hal ini menarik buat saya. Saya catat sedikitnya 2 poin argumen Luhut. Pertama, "SDM lokal tidak siap bersaing dengan TKA Cina." Dan kedua, "Keahlian pekerja lokal belum cukup dukung projek milyaran dollar."


Saya percaya bahwa kedua argumen itu sebetulnya palsu. Alasan sesungguhnya penggunaan TKA Cina adalah karena setiap projek yang mendapat dukungan keuangan dari Pemerintah Cina (yang disalurkan melalui perusahaan Cina) mesti menggunakan perusahaan, teknologi, raw material, dan pekerja dari Cina. Itulah yang disebut dengan projek turn-key. Indonesia terima bersih, projek sudah jadi. Di dalam proses perwujudan projek itu tidak ada nilai tambah didapatkan oleh Indonesia.


Walau begitu, kedua argumen palsu itu akan saya jawab juga. Bila seorang Menko menyampaikan argument, walau palsu tetap harus ditanggapi dengan serius.


INDONESIA BEJIBUN INDUSTRI SMELTER


Dalam menyusun artikel ini saya bertanya kepada seorang teman yang puluhan tahun berkecimpung di industri kelistrikan. Ia telah terlibat dalam pembangunan projek infrastruktur, gedung-gedung pencakar langit, pembangkit listrik di berbagai skala maupun sumber energi. Beberapa teman lagi memberi masukan tentang pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya dan membutuhkan profesionalitas tinggi.


Menurut mereka, tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dilakukan orang Indonesia. Pekerja Indonesia terkenal sangat berdedikasi, berani, dan mau digaji rendah. Pekerja tambang (miner) adalah pekerjaan yang berat dan berbahaya. Ribuan pekerja tambang di Indonesia bekerja dengan gaji Rp 5 juta/bulan. Bandingkan dengan pekerja tambang Australia yang memperoleh minimum Rp 100 juta/bulan. Penyelam mutiara juga pekerjaan berbahaya, perbandingan penghasilan mereka tidak berbeda dengan pekerja tambang.


Anda bisa tambahkan hal itu untuk tukang las bawah laut, pembongkar kapal, teknisi menara Sutet, pekerja konstruksi gedung pencakar langit, dsb.


Mereka melakukan pekerjaan dengan kualitas sama, namun dengan bayaran seperduapuluh bahkan sepertigapuluh pekerja asing. Jadi sila bayangkan opportunity cost yang hilang: seorang TKA sebetulnya menggantikan pekerjaan 20-30 orang pekerja lokal.


Industri smelter seperti dibangun di Konawe, perlu Anda ketahui, bukanlah industri dengan teknologi tinggi-tinggi amat. Puluhan tahun lalu, tepatnya tahun 1976 di jaman Orde Baru, sebuah smelter alumunium berdiri di Kuala Tanjung - Sumatera Utara. Perusahaan itu sekarang bernama PT. Inalum, sepenuhnya dikelola oleh tenaga Indonesia. Kemudian lebih dari dua dasawarsa lalu (1996) PT. Smelting mendirikan smelter di Gresik untuk melebur dan memurnikan tembaga dari tambang Freeport. Ringkasnya, teknologi smelter sama sekali tidak asing bagi pekerja-pekerja Indonesia.


Tabel di bawah ini memperlihatkan bahwa di Indonesia bejibun industri smelter. Smelter nikel seperti di Konawe itu saja ada 31 pabrik. Sampai tahun 2022 pemerintah memperkirakan 51 smelter beroperasi untuk melebur aneka mineral.


-

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB