opini

Kerajaan Bisnis Konglomerat di Bawah Perlindungan Payung BPPN

Jumat, 13 September 2019 | 16:00 WIB
bank-thinkstock


Jakarta, Klikanggaran.com - Sang waktu tampaknya tidak terlalu bersahabat dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dewasa ini. Hanya tinggal sedikit waktu yang tersisa bagi lembaga itu untuk merampungkan seluruh tugasnya. Sejauh ini setelah berjalan lebih kurang empat tahun, BPPN hanya mampu merestrukturisasi (menjual) 20% dari total nilai aset yang sebesar 66 miliar dolar. Jadi, adalah sangat wajar kalau BPPN diragukan kemampuannya merestrukturisasi sisa 80% dari aset tersebut dalam waktu hanya dua tahun yang masih dimilikinya. Hal ini membuat kita bertanya-tanya mengapa dan bagaimana BPPN dapat jatuh ke jurang kekacau-balauan seperti ini? Selanjutnya juga kita perlu memahami hambatan apa saja yang menjadi permasalahan bagi BPPN dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik.


BPPN harus menyelesaikan amanat yang diberikan kepadanya hanya sampai Januari 2004. Pada 27 Januari 1998, pemerintah mendirikan BPPN untuk menangani masalah restrukturisasi dan rehabilitasi anak-anak perusahaan konglomerat beserta bank-banknya, untuk mengembalikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah dipinjamkan kepada mereka.


Ternyata, kebanyakan konglomerat yang bersangkutan telah menyalahgunakan dana BLBI tersebut. Penyalahgunaan dana BLBI ini menjadi skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia. Walaupun dana ini sangat dibutuhkan untuk memantapkan sektor keuangan dan menggerakkan sektor riil, penyelewengan yang terjadi pada akhirnya akan berakibat pula pada terhambatnya pemulihan perekonomian baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Tanggung jawab terhadap pengembalian hutang dan restrukturisasi dilimpahkan ke tangan BPPN, yang sekarang di bawah Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. BPPN melakukan pengembalian secara besar-besaran dan pengelolaan perusahaan dan aset yang sebelumnya dimiliki oleh “obligor nakal” atau para konglomerat Orde Baru (Orba).


Mengingat bahwa dewasa ini ribuan perusahaan dan aset terlibat dalam proses restrukturisasi dan rehabilitasi, maka perlu ditekankan betapa pentingnya BPPN dalam proses pemulihan perekonomian Indonesia dan hal ini mempunyai dampak yang sangat penting bagi penentuan masa depan Indonesia.


Akar Permasalahan


Akhir-akhir ini banyak yang meragukan keakuratan nilai aset di tangan BPPN. Nilai aset yang pada awalnya diperkirakan Rp 660 triliun, sebenarnya telah menyusut menjadi sekitar Rp 160 triliun. Menurut Komisaris Utama BNI Arif Arryman, berbeda dengan pengalaman badan restrukturisasi dan rehabilitasi di negara lain seperti Thailand dan Amerika Latin, kinerja BPPN sangat rendah. Nilai aset yang kemungkinan telah digelembungkan (mark up) sejak awal, kini mengalami penyusutan yang hebat. Diperkirakan telah mengalami penurunan sebesar Rp 500 triliun dalam tiga setengah tahun terakhir. Maklum, karena situasi ini merupakan “tragedi nasional”, tidak mengherankan mengapa tidak ada seorangpun yang memiliki kewenangan berani mengakui hal ini sebagai “kegagalan nasional”.


Walaupun demikian, BPPN tetap merupakan lembaga pemerintah yang paling basah dan kaya. Karena lembaga ini bertanggung jawab atas bekas asset dari sekitar 300 konglomerat Orba dan ribuan perusahaan yang mendominasi sektor riil yang tersebar di seluruh Nusantara, yang…mencakup perindustrian, multifinansial, perhotelan, perniagaan, distribusi dan kontruksi… 


Jelasnya, tugas BPPN jauh lebih rumit pada saat kita memperhitungkan permasalahan utamanya yaitu “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” (KKN). Jika kita melihat salah satu argumentasi pokok dari ekonom termasyur Mancur Olson—yaitu lebih banyak kelompok kepentingan yang mempengaruhi perumusan dan pelaksanaan kebijakan, semakin lambat perekonomian berjalan—, sejak permulaan krisis ekonomi yang parah menghantam Indonesia, banyaknya pihak-pihak yang berebut bagian aset BPPN membuat proses pemulihan semakin lambat.


Mari kita melihat situasi ini dengan lebih dekat. Perebutan kekuasaan yang sangat sengit berkaitan dengan BPPN dapat disederhanakan ke dalam lima kelompok kepentingan yang paling mencolok. Pertama-tama, orang-orang dekat presiden. Mirip dengan kondisi pada masa pemerintahan Soeharto, B.J Habibie dan Abdurrahman Wahid yang pada masa itu pilih kasih terhadap pengusaha elit tertentu dianggap lumrah, [dalam periode kepresidenan Megawati] dewasa ini “suaminya penguasa nomor wahid” [yaitu Taufiq Kiemas]- yang memiliki catatan masa lalu yang akrab dengan beberapa konglomerat Orba- menganakemaskan dan melindungi sekelompok kecil pengusaha elit seperti kelompok Texmaco dan Gajah Tunggal (Untuk penjelasan lebih lanjut lihat Dick dan Mulholland, 2011, hlm. 76-78 sebagai berikut https://books.google.com.au/books?id=_e9jAAAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=state+and+illegality+in+Indonesia&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwj4s4-JtoHkAhUv63MBHbQ6DHEQ6AEIKjAA#v=onepage&q=state%20and%20illegality%20in%20Indonesia&f=false). Yang dapat dipastikan di sini adalah ketidakmungkinan keunggulan kompetitif “faktor kedekatan” dengan “oknum ini” akan setangguh mantan Presiden Soeharto. Jadi, keberhasilan konglomerat secermerlang yang dialami kelompok usaha Salim dalam Orba, kemungkinan besar tidak dapat ditiru atau diraih oleh konglomerat setelah tahun 1998. 


Kedua, banyak pengusaha elite yang tetap menggunakan cara-cara lama mereka yaitu dengan menyuap dan menggunakan koneksi untuk mengatasi masalah dan juga untuk meraih apapun yang mereka inginkan. Lebih terperinci lagi, tampaknya berbagai macam konglomerat telah “memarkirkan” sebagian besar aset kerajaan bisnisnya di bawah perlindungan payung BPPN. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa konglomerat-konglomerat ini memainkan “peran menunggu” sampai kondisi ekonomi dan politik membaik kemudian mereka akan bergerak untuk mengambil alih kembali kepemilikan atas aset-aset tersebut yang mereka percaya sebagai “milik sah” mereka. Dipersenjatai dengan dana yang tersembunyi di tempat lain sejak BI menyalurkan BLBI, misalnya, kemungkinan besar konglomerat-konglomerat tersebut akan mencoba mengambil alih kembali perusahaan-perusahaan dan asetnya yang hilang. Pengambilalihan tersebut kemungkinan dengan cara mempergunakan “pertolongan” penanaman modal asing. Telah dicurigai bahwa kelompok Salim adalah salah satu konglomerat yang menggunakan strategi kolaborasi dengan pihak asing untuk menutupi, mengkonsolidasi dan bahkan menyusun kekuatan dalam perekonomian Indonesia. Sebagai contoh dapat kita lihat pada keinginan Salim mengambil alih kembali bukan saja Indocement, tetapi juga Bank Central Asia (BCA) sangatlah menonjol. Bahkan konglomerat-konglomerat ini berusaha keras menghalangi pengambilalihan kepemilikan perusahaan-perusahaan dan aset ini dari BPPN oleh konglomerat-konglomerat lain di luar kelompoknya.


Ketiga, anggota-anggota dari partai politik (parpol) yang telah menjadi “pemain baru” yang sedang mencoba memperrebutkan bagian-bagian dari BPPN. Para anggota parpol-parpol ini kelihatan terburu-buru dan tanpa perhitungan menekan BPPN untuk menjual aset-aset bekas konglomerat. Setelah penjualan dilakukan, seharusnya hasil penjualan akan dimasukan ke APBN. Namun, sebelum dana tersebut masuk ke APBN, telah disaring terlebih dulu oleh partai-partai politik. Tampaknya, parpol-parpol ini tidak peduli siapa yang akan menguasai aset-aset tersebut. Tidak ada alasan-alasan ideologi yang melatar belakangi tindakan mereka ini, tapi hanyalah masalah kerakusan dan kepentingan pribadi untuk memperkaya diri dan kubunya sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan memanfaatkan posisi yang mereka miliki saat ini.


Keempat, kehadiran beberapa reformis dan generasi muda ekonom Indonesia yang condong pada teori neoklasik, yang diharapkan mampu menolong BPPN untuk bekerja dengan baik ternyata sejauh ini masih menghadapi tantangan yang sangat sulit. Kelima, Kepala BPPN keenam IPG Ary Suta (sebelumnya Ketua Bapepam), sejak dilantik 25 Juni 2001 sampai sekarang tampaknya memiliki masalah kredibilitas karena adanya tuduhan kedekatan dengan keluarga Soeharto dan banyak konglomerat. Namun, menyadari implikasi jangka panjang dari penjualan asset-aset ini terhadap sektor ekonomi riil, tidak semestinya menuntut tanggung jawab hanya dari Kepala BPPN. Tetapi semestinya juga para menteri yang terlibat, tidak hanya dengan BPPN, tetapi juga badan-badan lain yang terkait penjualan aset. Seluruh pergulatan ini didasari oleh budaya elite Jawa baru yang telah melembaga, yang dicirikan sebagai paternalistik, hedonistik, feodalistik dan pro—KKN.


Posisi Konglomerat


Konglomerat, yang menjadi lokomotif perekonomian Indonesia pada era Orba, dewasa ini sedang dalam ketidakpastian yang sangat dahsyat. Setelah terjadinya musibah ekonomi dan keuangan pada akhir tahun 1997, kebanyakan bank-bank yang memiliki hubungan dengan konglomerat-konglomerat ini amblas. Kondisi pengusaha elite Orba serta kerajaan bisnisnya dalam era pasca Soeharto sangat menyedihkan. Kebanyakan dari pengusaha elite ini terjebak dalam pergualatan ketidakpastian kondisi politik dan perekonomian Indonesia. Sebelumnya, pada masa Orba, jika seseorang memiliki keunggulan kompetitif yaitu kedekatan dengan Soeharto, maka telah dapat dijamin pertumbuhan dan perkembangan kerajaan bisnisnya akan berjalan dengan sangat baik.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB