opini

Menteri ESDM Punya Banyak PR

Minggu, 31 Juli 2016 | 10:43 WIB
images_berita_Jul_16_1.-Herry-Tosa

Jakarta, KlikAnggaran.com - Setelah reshuffle kabinet Jilid II yang baru saja ditempuh Presiden Jokowi, sementara mendapat respons positif dari kalangan pelaku usaha. Sesuai harapan Presiden, perombakan kabinet kali ini akan terus memacu kinerja pemerintah melalui percepatan pembangunan ekonomi yang lebih kokoh. Dengan masuknya tiga menteri di sektor yang berkaitan dengan energi yakni Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan, turut membawa harapan baru bagi pelaku industri migas, juga industri mineral dan batubara (minerba).

Menyikapi hal tersebut, Dewan Penasehat Asosiasi Nikel Indonesia, Herry Tosa, mengemukakan bahwa, sejak pemberlakuan UU Minerba nomor 4 tahun 2009 pada 2014 lalu, gairah industri pertambangan tanah air mengalami kelesuan. Ekspor bahan mentah mineral dilarang dan diwajibkan diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Seluruh pengusaha pertambangan pun mau tidak mau harus membangun smelter, walaupun faktanya 2 operator tambang emas yaitu PT. Freeport Indonesia dan PT. Newmont sampai hari ini belum ada tanda-tanda akan membangun smelter.

 

Herry mengatakan dalam keterangan tertulisnya, awalnya kebijakan ini dianggap sangat heroik. Dengan dalil tidak lagi menjual bahan mentah ke luar negeri dengan harga relatif murah dan tidak memberikan nilai tambah ekonomi yang dapat memberikan kontribusi besar bagi negara dan masyarakat di sekitar wilayah tambang. Kebijakan tersebut terkesan ada rasa nasionalisme yang menggelora di dalamnya.

Namun, Herry menggarisbawahi bahwa membangun smelter tidaklah semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan investasi sangat besar dan waktu cukup lama untuk membangun smelter. Di sinilah persoalan perlahan mengemuka. Tidak semua perusahaan pemilik tambang mampu membangun smelter. Alhasil, hanya perusahaan pemilik tambang berskala besar dan tentu saja mempunyai banyak modal, yang tidak menemui kendala bila ingin membangun smelter. Sedangkan bagi perusahaan kecil, membangun smelter adalah sebuah malapetaka.

“Kenapa malapetaka? Sebab perusahaan tambang kecil yang dilarang mengekspor bahan mentah tidak lagi punya pilihan, kecuali menjual bahan mentah miliknya kepada perusahaan besar pemilik smelter. Di saat yang sama, perusahaan berskala besar yang tentu saja sudah dan mampu membangun smelter justru mengambil kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Pengumpulan pundi-pundi perusahaan raksasa itu pun dilakukan dengan cara yang kurang elegan,” kata Herry.

Faktanya, seperti disampaikan oleh Herry, terdapat beberapa perusahaan besar pemilik smelter yang dengan seenaknya saja menentukan harga beli bahan mentah. Jangan heran apabila pemilik Kuasa Pertambangan kecil hanya mampu memperoleh untung 1-2 dolar saja. Perlakuan seperti itu banyak dialami pengusaha nikel saat ini.

“Juga perlu diingat, perusahaan pemilik smelter saat ini sekitar 90 persen dikuasai asing. Artinya, jika dulu dikatakan smelter dibutuhkan agar tidak lagi menjual tanah-air, sekarang sama saja kita sudah menjual negara.” Demikian Herry menambahkan.

Bukti yang ada menurut Herry adalah, perusahaan pemilik smelter hanya menerima ore nikel dengan grade 1.95. Padahal, di setiap wilayah tambang, grade 1.95 paling banyak berkisar 5-7 persen. Lalu, kemana lagi sisanya? Mau tidak mau, tentu saja harus dijual kepada pemilik smelter dengan harga yang jauh lebih murah. Perlakuan seperti itu tentu saja lebih dzalim dari era penjajahan.

“Coba bandingkan dengan pasar di Tiongkok yang masih menerima grade 1.3 hingga grade 2, dan dibeli dengan harga yang cukup memadai. Sederhananya, di Indonesia dibeli 20 dolar per metrik ton sementara di Tiongkok bisa laku 60 dolar. Maka yang diuntungkan, sekali lagi adalah perusahaan pemilik smelter yang hampir seratus persen dikuasai modal asing,” katanya kemudian.

Menurut Herry, masih ada harapan agar peristiwa menyedihkan itu tidak lagi berlanjut di era Menteri ESDM yang baru, yakni dengan melakukan standarisasi harga yang diatur oleh pemerintah. Maka Kementerian ESDM, Perindustrian, dan Perdagangan harus memberikan pilihan kepada pelaku tambang kecil. Ini yang harus menjadi pemikiran bagi pemerintah. Dibutuhkan terobosan melalui pemberlakuan standarisasi harga bahan tambang guna mencegah praktek curang perusahaan berskala besar.

“Membuat terobosan seperti itu bukanlah persoalan sulit. Dengan catatan, Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, serta Menteri Perdagangan, mau duduk bersama untuk merumuskan dasar hukumnya, yakni dengan menerbitkan Peraturan Menteri,” tutup Herry Tosa di Jakarta, Minggu (31/07/2016).

Sementara itu, dalam kesempatan terpisah Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, berpendapat bahwa, publik mengharapkan banyak dari Menteri ESDM yang baru, agar bisa maksimal dalam membereskan pengelolaan sektor energi dan minerba di tanah air yang masih "carut marut" ini. Dan, untuk meneruskan apa yang sudah dirintis oleh Menteri ESDM yang lama, saat ini kita hampir defisit pada seluruh sektor energi, baik migas dan energi pembangkit. Sehingga, tidak heran jika mendengar keluhan dari hampir setiap daerah soal "byar pet".

“Seperti minum obat, bisa sehari 3 kali byar pet. Jadinya aneh, daerah yang kaya sumber daya alamnya, tapi kesulitan listrik dan gas LPG untuk kebutuhan mendasar bagi rakyatnya,” kata Yusri.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB