opini

Kemana Engkau yang Dulu Teriak Lantang???

Sabtu, 14 Mei 2016 | 03:01 WIB
images_berita_REFORMASI-98

Sejarah membuktikan, betapa peristiwa-peristiwa besar yang dilalui dan digerakkan oleh pemuda. Sejarah telah membuktikan pula bahwa pemuda merupakan penggerak utama denyut nadi revolusi suatu bangsa di manapun, tak terkecuali di Indonesia. Sejarah telah mencatat, gerakan kebangkitan nasional pertama Boedi Oetomo 1908 yang dipelopori oleh Dr. Sutomo dan kawan-kawan dalam menggugah semangat kebangsaan/nasionalisme sebagai dasar dari kebangkitan nasional dalam melawan penjajahan asing. Kesadaran moral kebangsaan ini dua puluh tahun kemudian telah melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang intinya membangun rasa persaudaraan senasib, sebangsa, setanah air, serta satu bahasa nasional, Indonesia. Ikrar suci itu pun kemudian menjemal menjadi gerakan politik kemerdekaan tujuh belas tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 1945 yang dipelopori oleh Soekarno-Hatta dan kawan-kawan, yang tak lain adalah orang-orang muda.

Begitu pula gerakan mahasiswa 66 (Tritura), gerakan mahasiswa 74 (peristiwa Malari), gerakan mahasiswa 78 (tentang Aliran Kepercayaan), gerakan mahasiswa 80-an, dan gerakkan mahasiswa Mei 1998, merupakan gerakan revolusioner pemuda Indonesia yang gigih berani membela dan memperjuangkan suara rakyat kecil yang tertindas. Sikap Idealisme dan patriotisme mahasiswa/pemuda yang rela mengorbankan apa saja, bahkan nyawa sekalipun inilah yang perlu ditauladani oleh para elit politik kita, yang tengah mengalami demoralisasi dan mediokrasi di pelbagai bidang.

Kini, setelah genap 18 tahun sudah Reformasi Mei 98 bergulir dan berlalu, nyatanya belum juga menghasilkan perubahan signifikan terhadap Reformasi Birokrasi yang muaranya pada kesejahteraan rakyat. Perilaku para birokrat tetap saja belum berubah. Mental mereka masih tetap saja sama, yakni minta dilayani bukan melayani, alias KORUP! Survey yang dilakukan Bank Dunia menyebutkan bahwa sebagian besar pejabat publik baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif hasil Pemilu 2004 dan 2009 (belum termasuk hasil pemilu 2014) di beberapa Kabupaten di Indonesia, itu tidak memahami persis apa tugas dan tanggungjawab mereka sebagai pejabat/birokrat/ atau pelayan publik.

Padahal, jalan untuk mewujudkan era reformasi sekarang ini tidak mudah. Banyak liku dan aral melintang dari terjalnya jalan menuju era keterbukaan dan “kemerdekaan” yang diimpikan dan dicita-citakan. Tumpahnya darah tunas-tunas muda bangsa yang gugur di era gerakan mei 98, gerakan menumbangkan rezim Soeharto dan kroninya (ORBA) yang sarat Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) adalah salah satunya.

Mereka yang muda, heroik, idealis sekaligus polos, rela berkorban jiwa dan raga, gugur dalam medan “juang.” Mereka tidak tahu setelah era perjuangan itu akan dapat apa? Hanya satu yang mereka tahu, rezim otoritarianisme yang korup, tumbang dan berganti dengan era yang kita semua nikmati hari ini.

Kita tentu patut bersyukur, hasil dari perjuangan gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat telah membawa kita pada alam demokrasi. Dimana semua tata kenegaraan Indonesia berjalan sesuai kaidah-kaidah yang seharusnya. Dari 6 (enam) tuntutan atau agenda reformasi (Adili Soeharto dan kroni-kroninya, laksanakan amandemen UUD 1945, hapuskan dwi fungsi ABRI, pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya, penegakan supremasi hukum, menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN) semua telah dijalankan.

Namun sayang, keenam agenda reformasi itu masih setengah hati kita jalankan. Mengapa dan apa buktinya? Penulis berpendapat (pribadi) bahwa: 1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya. Belum atau tidak terwujud sama sekali. Apa buktinya? Kasus KKN mantan presiden RI ke dua itu belum ada putusan (inkracht) di pengadilan. Apakah ia bersalah atau tidak? Lalu sebagian kroni-kroni Soeharto kini masih banyak yang berkeliaran bahkan berkibar dengan partainya masing-masing sekaligus bisnisnya yang masih dan terus menggurita. 2. Pelaksaaan amandemen UUD 1945. Setelah empat kali mengalami amandemen, nyatanya UUD 1945 (versi) reformasi malah mengarah dan berkiblat kepada kepentingan asing, sejurus kemudian memunggungi kepentingan rakyat sendiri. Apa buktinya? Buktikan dan rasakan sendiri. 3. Penghapusan dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI. Juga masih samar hasilnya. Apa buktinya? Sederet nama-nama Jenderal Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia/TNI era orde baru alias ORBA justeru makin berkibar dengan partai dan bisnisnya. Di sisi lain, terjadi “persaingan” institusi Polri dan TNI yang negatif dan subyektif. 4. Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Pada tataran teknis memang terwujud apa yang diinginkan tentang desentralisasi dan mengamputasi kekuasan yang terpusat (sentralisasi). Namun, pada praksisnya, malah hanya menciptakan raja-raja kecil baru yang tak kalah ganasnya terhadap uang! Apa buktinya? Puluhan bahkan ratusan kepala daerah ramai-ramai masuk jeruji besi akibat KKN. 5. Penegakkan supremasi hukum. Tuntutan kelima reformasi ini sungguh memilukan dan menjijikan! Apa pasal? Pasalnya, tata hukum/peradilan kita betul-betul telah tercoreng bahkan dapat menggoyahkan sistem peradilan dan keadilan Indonesia. Bagaimana tidak, Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng tertinggi dan terakhir dari sistem hukum dan tata peradilan kita, juga tidak luput dan terjerat kasus KKN! 6. Pemerintahan yang bersih dari KKN. Tuntutan reformasi yang terakhir ini sungguh jauh panggang dari api. Sekali lagi, apa buktinya? Hampir tak satu pun lembaga-lembaga kenegaraan kita yang bersih dari KKN, mulai dari lembaga eksekutif, legislatif sampai yudikatif. Tiga kelembagaan negara ini sampai saat ini sulit sekali melepaskan jerat KKN pada dirinya sendiri.

 Kini para elit politik kita mulai dari eksekutif, legeslatif sampai yudikatif tengah terjerembab dalam kubangan kedangkalan moral alias meidokrasi atau menjadi medioker. Paradigma politik para elit politik mengalami pendangkalan berpikir. Semuanya asal instan saja tanpa memikirkan rambu moral, hukum dan tata nilai yang ada untuk meraih kesejahteraan.

Demi meraih kesejahteraan, korupsi menjadai jawaban. Korupsi menjadi momok yang amat memalukan dan memperihatinkan di negeri ini. Setiap hari kita disuguhkan sajian amat tak bermoral oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang notabene adalah wakil rakyat yang harus memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat. Tapi apa lacur, DPR malah menggerogoti uang negara yang sejatinya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Demi hidup yang mewah dan kesenangan pribadi, mereka menghambur-hamburkan uang rakyat tanpa rasa malu sedikit pun. Tak jarang dari mereka yang terang-terangan melakukan korupsi, mulai dari proyek pengadaan barang dan jasa, program studi banding ke luar negeri yang banyak menguras kocek negara, sampai praktik jual-beli hukum dan usulan Dana Aspirasi.

Perilaku elit-elit politik kita makin hari makin memuakkan nurani saja, tanpa ada niatan mereka untuk berubah! Kita menyaksikan bagaimana sesama mereka saling ”mebunuh” dan membuka aib sesama. Mereka terus berebut kue kekuasaan yang menggerus nurani dan akal sehat mereka. Demi kekuasaan yang sesaat, mereka rela mengebiri dan mengorbankan apa saja, termasuk hak rakyat kecil untuk hidup layak atas nama rakyat. Sementara itu, perbaikan kehidupan rakyat ditelantarkan begitu saja. Rakyat dibiarkan miskin dan terlunta-lunta menanti nasibnya yang tak kunjung pasti. Kemakmuran dan kesejahteraan semakin menjauh dari relung kehidupan mereka. Kelaparan karena tak bisa membeli makan, putus sekolah kerana tak punya biaya, menjadi pengemis di jalan hanya demi sesuap nasi, menjadi pemandangan rutin yang tak sedap dipandang mata kita.

Tanpa disadari kalau perilaku elit politik kita telah mengimbas dan memvirusi di dunia akademik-mahasiswa (aktifis pemuda). Tak sedikit dari mereka yang dulu (katanya) ”berjuang” atau “pejuang” reformasi 98 kini malah ikut-ikutan perilaku elit politik yang korup. Belum lagi para aktivis mahasiswa yang tergabung resmi di organisasi-organisasi intra dan ekstra kampusnya masing-masing “berjuang” hanya untuk menjadi anggota dewan yang terhormat. Dengan berpartisipasi menjadi ketua cabang, ketua daerah, sampai menjadi ketua umum organisasinya di tingkat nasional. Kemudian, setelah lulus dari organisasinya masing-masing, mereka ramai-ramai mencalegkan diri menjadi anggota dewan. Mereka berharap, akan terjadi sebuah transformasi diri dari hidup yang biasa menjadi sejahtera. Dari yang ”miskin” menjadi tidak terlalu ”miskin”.

Harapan akan transformasi diri pribadi inilah telah menanamkan sikap atau mental korup dalam benak anak-anak muda ini. Tanpa disadari bahwa perilaku dan sikap korup sehari-hari sedang mereka jalani. Banyak contoh kasus sikap pragmatisme yang dilakukan pemuda. Misalnya, tertangkapnya politisi-politisi muda kita yang di Senayan sana dan yang menjadi Ketua Umum Partai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus suap atau korupsi. Hal ini merupakan cerminan pragmatisme seorang mantan aktifis muda yang ingin mentransformasi diri pribadi secara instan tanpa harus bekerja keras.

Contoh lain dari sikap pragmatisme politik pemuda adalah masuknya para mantan aktifis pemuda ke dalam lingkaran kekuasaan. Sederet nama (tak perlu disebutkan) terkenal aktifis era 98 ada yang menjadi komisaris perusahaan BUMN/BUMD dan swasta. Ada pula yang masuk di lembaga kepresidenan, parta politik, DPR, MK, MA, KY, dan lain-lain.

Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan masuknya mereka ke dalam lingkar kekuasaan. Akan tetapi, apakah setelah masuk ke dalam kekuasaan mereka tetap komitmen dan konsisten dengan suara rakyat miskin? Masih komitmen dan konsistenkah dengan 6 (enam) tuntutan atau agenda reformasi yang mereka buat sendiri? bagaimana dengan darah sahabat juang mereka sendiri yang tertumpah lalu akhirnya gugur dalam medan “juang” reformasi 98? Apakah semangat mereka membela kaum susah masih sama seperti dulu ketika mereka masih menjadi seorang aktifis? Atau jangan-jangan mereka sudah bertransformasi menjadi ORBA-ORBA baru dan aktifis mutan? Pertanyaan inilah yang harus mendapatkan jawaban. Sebab, selama ini kita merasa sepi akan suara para mantan aktifis muda itu membela rakyatnya yang kini sedang dilanda kesulitan ekonomi. Kita sudah tidak mendengar lagi suara lantang mereka membela kaum yang tertindas.

Halaman:

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB