opini

Suap MA, Goyahkan NKRI

Sabtu, 30 April 2016 | 01:40 WIB
Suap MA, Goyahkan NKRI

Kukuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan menjadi dasar dilaksanakannnya pembangunan di segala bidang. Sekalipun seluruh rakyat dan penyelenggara negara serta segenap potensi bangsa telah berusaha menegakkan dan melestarikan NKRI, namun masih ada ancaman, hambatan, dan gangguan terhadap keutuhan NKRI.

Kemajemukan yang rentan konflik, otonomi daerah yang belum terwujud sempurna, kebijakan yang (substansinya masih) terpusat, serta tindakan ketidakadilan pemerintah yang dipicu oleh hasutan serta pengaruh gejolak politik nasional bahkan internasional dapat mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.

 

Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan mekanisme Undang-Undang Dasar 1945 serta azas demokrasi telah menjadi sabab dan akibat terhadap keruntuhan NKRI dan makin jauhnya cita-cita demokrasi dan kemerdekaan yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absolut dan korup.

 

Ketidakpekaan penyelenggara negara terhadap kondisi dan situasi tersebut telah membangkitkan gerakan reformasi di seluruh tanah air yang ditandai dengan tumbangnya rezim otoriter (Soeharto-ORBA) 18 tahun silam. Gerakan reformasi telah mendorong secara relatif terjadinya, kemajuan-kemajuan di bidang politik, usaha penegakan kadaulatan rakyat, peningkatan peran masyarakat disertai dengan pengurangan dominasi peran pemerintah dalam kehidupan politik, antara lain dengan terselenggaranya Sidang Istimewa (SI) MPR 1998; Pemilu 1999 yang diikuti banyak partai, netralitas pegawa negeri (PNS), serta TNI dan Polri; peningkatan partisipasi politik, pers yang bebas serta Sidang Umum MPR 1999. Namun, perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi (baca; demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang berujung pada kemerdekaan sejati).

 

Di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, di satu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat penegak hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan secara nyata.

 

Tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan reformasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme, serta kejahatan ekonomi keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah (baca; Yudikatif) serta aparat penegak hukum lainnya dalam menerapkan dan menegakkan hukum, terjadinya campur tangan dalam proses peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum bahkan krisis negara bangsa (NKRI).

 

Tengok saja faktanya, kasus dugaan suap yang terjadi di badan tinggi negara bidang hukum, Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini. Integritas moral pejabat dan lembaga MA yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan hukum malah tersandung kasus suap/korupsi. Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 12 Februari 2016, dengan terduga Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus MA, Andri Tristianto Sutrisno dan dua orang lainnya, lchsan Suaidi (Direktur PT Citra Gading Asritama (CGA) dan Awang Lazuardi Embat (penasihat hukum lchsan). Juga kasus penangkapan panitera sekaligus Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, di sebuah hotel, Jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat 20 April 2016, adalah bukti nyata integritas moral pejabat negara yang rusak (moral hazard).

 

KPK menduga dari semua kasus itu melibatkan Sekretaris MA, Nurhadi atas keterlibatan Andri yang diduga telah menerima uang ratusan juta rupiah dari Direktur PT Citra Gading Asritama (CGA), lchsan Suaidi. Suap diberikan dengan maksud agar Andri menunda pengiriman putusan kasasi atas perkara yang menjerat lchsan. Suap diberikan melalui penasihat hukum lchsan, Awang Lazuardi Embat. Sementara, KPK menangkap Edy Nasution dan pengusaha yang diduga sebagai perantara suap, Doddy Arianto Supeno. Keduanya ditangkap setelah bertransaksi di lantai dasar sebuah hotel di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Dari tangan Edy, KPK menyita bukti uang senilai Rp 50 juta yang diletakkan dalam tas.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB