opini

Duhai 'SARA' Tersayang ...

Rabu, 19 Oktober 2016 | 09:42 WIB
images_berita_Okt16_1-SARA

Sungguh, orde baru amat cerdas saat meliris "SARA" (suku, agama, ras, dan antar golongan), dalam membaca kebhinekaan bangsa ini. Warna dan makna kebhinekaan, bertumpu pada empat pilar primordial atau batu bangun itu, dalam rangka mewujudkan, unity in diversivity, atau persatuan dalam keberagaman.

Dengan dan dalam empat pilar primordial itu (suku, agama, ras dan golongan), terletak kekuatan sekaligus kelemahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

"SARA", adalah kekuatan dan puncak keindahan dari mosaik kebhinekaan, seperti perdamaian, toleransi, kasih sayang, harmoni, gotong-royong, atau sambatan, dan lain-lain, bila terawat dengan baik dan benar tentunya.

Sebaliknya, di situ pula terletak kerawaan permanen, yang setiap saat bisa menjadi sumbu ledak yang membawa bangsa dan negeri ini ke tubir keretakan, ketegangan, konflik, dan kehancuran, bila tidak peduli dan setiap pihak menjual hegemoni.

Logika sederhananya, jika keempatnya padu dan kokoh, padu dan kokoh pulalah bangunan NKRI. Sebaliknya, satu saja dari antaranya pincang, goyahlah bangunan dan kohesivitas atau rajutan persatuan dan kesatuan atau integrasi nasional.

SARA", merupakan hasil analisis Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), dalam menemukan akar masalah yang dinilai paling potensial dalam mengoyak harmoni sosial dan kohesi persatuan nasional itu.

Ibnu Khadun/1337, menyebutnya dangan, 'Ashobiyyah', atau tribalisme menurut John Naisbitt-Patricia Aburdene/1990.

Sebagai turunan dari konsep "SARA", di bidang agama dirumuskan, Trilogi Kerukunan Ummat Beragama, yang terdiri dari : (1) Kerukunan Intern Ummat Beragama ; (2) Kerukunan Antar Ummat Beragama ; dan (3) Kerukunan Ummat Beragama dengan Pemerintah.

Secara relatif, Trilogi Kerukunan seperti itu dapat dipolakan dalam membina dan mengembangkan kerukunan yang sama, pada suku, ras, dan antar golongan.

Pada mulanya, konsepsi "SARA" - hanyalah sebuah metoda pendekatan dan pisau analisa, untuk mengenali potensi dan kerawanan sosial-budaya. Dengan begitu akan mudah mengenali gejala dan kecenderungannya, yang karenanya tepat dan mudah pula menemukan akar masalahnya, serta cara dan terapinya, untuk mengatasi setiap potensi kerawanan/sumber konflik yang bakal terjadi.

Tidak ada yang salah dengan konsep berbentuk akronim, "SARA" tersebut. Tidak pula harus ditabukan untuk menyebut atau mendiskusikannya, sejauh disertai dengan kearifan, kedewasaan, dan kemampuan menahan diri yang tinggi.

Jika memang harus ada yang keliru atau disalahkan, itu terjadi dalam implementasinya. Dalam menemukan akar masalahnya dan bagaimana memperagakan solusi dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sulitnya menemukan akar masalah inilah, yang berpengaruh terhadap pilihan metodologi dalam mengatasi, serta dosis dan bentuk solusi dalam mengeksekusinya.

Di atas permukaan, sebuah ketegangan atau konflik, bisa berasal dan berwajah suku, agama, ras, atau golongan (salah satu di antaranya), atau bisa jadi keempatnya sarimbit bersamaan. Tapi, akar masalah yang berada di bawah permukaan (faktor penyebab utama), belum tentu linear dengan yang di atas permukaan. Maknanya, sebab, gejala, dan akibatnya, bisa beragam-ragam, beraneka warna.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB