1) Polemik pertama: diksi dibohongin dan dibodohin
Dibohongin pake surat Al Maidah ayat 51
P K
Kata dibohongin yang befungsi sebagai predikat dalam penggalan di atas termasuk ke dalam bentuk verba verbal, yaitu tindakan yang melibatkan perkataan atau ucapan. Dalam KBBI sendiri, bohong bermakna ‘tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dengan demikian, Kata membohongi sebagai bentuk aktif dari predikat tersebut bermakna ‘mengatakan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan/tidak jujur/tidak benar. Dalam sebagian besar konteks, diksi dibohongin memiliki nilai rasa negatif. Apa pun kata yang disandingkan dengannya, apa pun partisipan yang muncul dalam strukturnya akan mendapatkan label negatif, sekalipun hal yang disandingkan dikenal umum memiliki citra positif. Sayangnya, kita tidak tahu siapa/partisipan apa yang dibicarakan oleh Ahok karena kalimat yang ia lontarkan tidak memiliki kelengkapan struktur. Inilah polemik yang kedua.
2) Polemik kedua: ketidaklengkapan struktur
Dengan menggunakan analisis struktural maupun fungsional, kalimat yang menimbulkan kontroversi ini belum memiliki kelengkapan informasi: (1) tidak adanya subjek atau target yang dituju dan (2) tidak adanya pelengkap atau partisipan. Perhatikan uraian berikut!
… dibohongin … Pake Al-Maidah 51
target yang dituju predikat (verba verbal) pelengkap (partisipan) keterangan
Berdasarkan dimensi kewacanaan, teks tersebut diucapkan oleh Ahok saat ia mengunjungi Kepulauan Seribu sehingga target yang dituju adalah warga Kepulauan Seribu. Inilah satu-satunya hal yang pasti. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pelengkap yang berperan sebagai partisipan dalam kalimat di atas. Ada dua kemungkinan siapakah yang dimaksud Ahok di dalam kalimatnya.
Kemungkinan partisipan yang pertama adalah ulama karena pertautan dengan keterangan yang digunakan di dalam kalimat adalah ayat kitab suci. Inferensi (penarikan simpulan) masyarakat didasarkan atas pemahaman umum bahwa pihak yang paling sering menggunakan ayat suci adalah para ulama. Jika kemungkinan pertama ini yang dimaksud, sudahlah jelas kiranya bahwa Ahok menghina Islam karena ulama adalah elemen penting agama Islam. Hal ini sama halnya dengan pendeta untuk Kristen atau biksu untuk Budha. Menghina ulama/pendeta/biksu dengan menyatakan bahwa mereka berbohong dengan menggunakan ayat kitab sucinya sama juga dengan menistakan agama itu sendiri. Inilah yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat hingga menyimpulkan bahwa Ahok telah melakukan penghinaan.
Akan tetapi, adalah musykil kiranya jika kita hanya menganggap bahwa ulama adalah satu-satunya partisipan yang tepat untuk mengisi kekosongan struktur di atas. Jika kita melihatnya dengan konteks situasional sesuai dengan dimensi praktis yang dipaparkan Fairclough, lawan politik adalah partisipan yang paling cocok. Bukankah pernyataan ini terlontar menjelang Pilkada DKI 2017? Hal ini pun diperkuat oleh penyangkalan yang ia lakukan bahwa ia tidak suka ada yang mem-politisasi ayat suci.
Sampai pada tahap ini, para pendukung Ahok mungkin akan bernapas lega. Mereka dapat membuktikan bahwa Ahok tidak menghina. Akan tetapi, implikasinya juga begitu buruk: kampanye negatif. Wacana yang dipaparkan Ahok telah membuktikan bahwa Ahok sedang melakukan kampanye negatif terhadap lawan-lawan politiknya. Pernyataan Ahok bahwa dirinya tidak memusingkan pilkada ternyata tidak benar (baca di sini atau di sini). Kalau memang ia tidak memusingkan pertarungan politik dalam pilkada nanti, ia tidak akan melakukan hal semacam ini. Sayangnya, analisis kita belum berakhir di tahap ini. Masih ada polemik ketiga.