Jakarta, Klikanggaran.com (24/11/2017) - Denny JA (DJA) sudah membuat tulisan tentang Golkar dalam 3 tulisan, yakni "Menunggu Branding Golkar Paska Setya Novanto : PLT atau Munaslub", "Idrus Marham dan Prospek Partai Golkar", dan "Menjelang Munaslub Golkar Coopetion: Idrus Marham versus Airlangga Hartarto".
Dalam tulisannya tersebut DJA menyampaikan bahwa Golkar antara lain sebagai berikut:
1) Golkar akan bangkit dengan "rebranding", dengan mengangkat success story kepala-kepala daerah dari Golkar dalam pembangunan daerahnya. Strategi ini terkait untuk mengisi kelemahan pemerintahan Jokowi, di mana tingkat ketidakpuasan publik semakin luas, khususnya soal ketimpangan sosial.
2) Tokoh sentral Golkar saat ini adalah Idrus Marham. Idrus akan berhasil membesarkan Golkar kembali dengan kemampuannya sebagai "coalition builder". Idrus hanya butuh konsultan "Branding".
3.) Jika terpaksa ada munaslub, kompetitor Idrus hanya Airlangga Hartarto. Sebaiknya mereka tidak berkompetisi, melainkan "Coopetion", sebuah strategi sinergi. Munaslub ini bisa saja tidak terjadi jika Novanto bebas dalam pra peradilan atau faksi-faksi yang berhadapan melihat biaya Munaslub terlalu mahal.
Tulisan DJA ini penting untuk diberi catatan. Pertama urusan Golkar ini menyangkut pertarungan besar nasib bangsa ini ke depan. Kedua, DJA mungkin membiaskan analisa agar "hidden agenda" pertarungan besar ini tidak dibaca secara jeli dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Analisa DJA berfokus pada Golkar dan aktor yang akan menyelamatkan Golkar sebagai sebuah partai. Analisa ini meniadakan (menyembunyikan) 1) mengapa Novanto, yang diprediksi terlindungi oleh Jokowi dan atau Luhut Binsar Panjaitan selama ini gagal melawan KPK? 2) untuk apa Golkar ini digoyang sedemikian dahsyat menjelang pilpres 2019?
Jika analisa yang tersembunyi ini dimasukkan sebagai variabel, maka analisa baru mungkin menihilkan semua analisa yang dilakukan DJA dalam tulisannya. Mengapa?
Pertama, fokus analisa "kekalahan" Novanto melawan KPK. Kita melihat bahwa kedekatan Jokowi, Presiden RI, dengan Novanto adalah sangat nyata. Tangan kanan Jokowi, Luhut Binsar Panjaitan, Menko Maritim, bahkan sudah terkesan menggaransi Novanto aman dari KPK. Hal ini disampaikan LBP di hadapan rapimnas Golkar bulan Mei lalu.
Bahkan pimpinan Komisi 3 DPR, Bambang Soesetyo, secara gamblang mendukung Densus Tipikor Polri, yang dalam persepsi publik sebagai penggembosan terhadap eksistensi KPK. Dan, juga DPR secara menyolok melemahkan KPK dengan pansus KPK selama ini.
Secara kasat mata, kekuatan-kekuatan politik yang ada, baik di DPR, eksekutif, maupun partai, diasumsikan telah mencapai sebuah kesepakatan bahwa Novanto aman, KPK dikerdilkan, dan beberapa UU (seperti UU Ormas dan UU Pemilu) disepakati.
Lalu, kenapa semua berbalik? Kenapa KPK yang diisukan sudah dikooptasi rezim Jokowi tiba-tiba mampu menyerang balik Novanto? Mengapa KPK membuat ketar-ketir anggota DPR yang ikut perampok uang e-KTP?
Tentu saja jawabannya adalah adanya dukungan dari kekuatan yang lebih besar dari kekuatan persekutuan DPR-Novanto-Rezim Jokowi. Jika kekuatan itu tidak lebih besar, maka pasti Novanto tetap aman dalam kedudukannya selama ini.
Pertanyaannya adalah, apakah kekuatan itu bersumber dari kekuatan lokal ataukah kekuatan asing?