opini

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB
Logo NU (reepik)

Apakah benar inilah wajah NU yang menjaga akhlak dan adab? Benturan internal di PBNU bukan hanya melemahkan moral organisasi, tetapi juga mencederai independensi ulama yang seharusnya menjadi benteng terakhir integritas bangsa.

3. Tradisi Pesantren yang Dikhianati
Tradisi pesantren membentuk ulama dengan karakter tawadhu’, tasamuh, ikhlas, dan adab. Kiai menjadi teladan bukan karena jabatan, tetapi karena keluasan ilmu dan kejernihan hati.

Dalam konflik hari ini, parameter itu seperti hilang. Saling klaim, saling koreksi di ruang publik, hingga pertempuran narasi yang kadang menggunakan bahasa kasar, membuktikan bahwa sebagian tokoh telah kehilangan adab yang dulu menjadi mahkota ulama.

Para santri diajarkan bahwa al-adab fauqal ‘ilm—adab lebih tinggi daripada ilmu. Tetapi bagaimana prinsip itu bisa dihidupkan jika para pemuka yang seharusnya menjadi contoh justru menunjukkan perilaku sebaliknya?

Ketika ulama tampil bak politisi, maka batas antara ulama dan aktor kekuasaan kian kabur. Ini adalah bahaya paling serius dalam konflik PBNU: hilangnya otoritas moral ulama karena dirusak oleh ambisi internal.

4. Urusan Dunia yang Sementara Memadamkan Cahaya Ruhani
Realitas paling menyedihkan dari konflik PBNU adalah bahwa pertikaiannya tidak lahir dari perbedaan gagasan besar tentang kemaslahatan umat.

Ia tidak berangkat dari ijtihad moral, bukan perdebatan mengenai strategi dakwah, pendidikan, atau masa depan pesantren.

Sebaliknya, konflik itu banyak menampakkan wajah perebutan struktur, legitimasi kekuasaan, dan memperebutkan perangkat organisasi.

Padahal dunia ini sementara. Jabatan berlalu, kursi berganti, dan kekuasaan hanya punya umur singkat.

Sementara itu, kehormatan ulama adalah sesuatu yang seharusnya lebih dijaga daripada hidup itu sendiri. Ketika ulama terlibat dalam pertikaian duniawi, bukan hanya dirinya yang tercoreng, tetapi juga marwah keulamaan dan kepercayaan umat yang selama ini menjadi aset terbesar NU.

5. Mengembalikan NU ke Jalan Para Pendiri
Konflik di PBNU seharusnya menggugah kesadaran kolektif untuk kembali pada nilai dasar:
• Menjadikan jabatan sebagai amanah, bukan rebutan.
• Menempatkan adab di atas kepentingan.
• Memuliakan musyawarah dan menghindari gebrakan yang merusak keutuhan.
• Menjadikan ulama sebagai penenang, bukan sumber konflik.

NU adalah rumah besar umat Islam Indonesia. Jika rumah ini retak karena ambisi sebagian kecil elite, maka yang paling dirugikan adalah rakyat kecil yang menggantungkan bimbingan spiritual pada para kiai.

Karena itu, para tokoh NU harus berani kembali pada suara nurani: mengakhiri perselisihan, mengutamakan kemaslahatan, dan menghidupkan kembali khittah yang telah lama menjadi kompas moral organisasi.

Jika tidak, NU mungkin masih kuat secara struktur, tetapi akan kehilangan ruh, kehilangan wibawa keulamaan, dan kehilangan kepercayaan publik.

Dan ketika itu terjadi, kerugian tersebut jauh lebih besar dari sekadar berhasil atau tidaknya seseorang menduduki jabatan tertentu.**

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB