(KLIKANGGARAN)--Setiap siswa memiliki potensi belajar, tetapi tidak semuanya dapat memahami materi pelajaran secara langsung tanpa bantuan. Seperti seseorang yang membutuhkan tangga untuk mencapai tempat tinggi, siswa juga memerlukan bantuan bertahap dalam proses belajarnya. Dalam dunia pendidikan, pendekatan ini dikenal dengan istilah scaffolding.
Scaffolding merupakan strategi yang memungkinkan guru memberikan bantuan sementara kepada siswa hingga mereka mampu menyelesaikan tugas secara mandiri. Strategi ini sejalan dengan konsep Zone of Proximal Development (ZPD) yang dikenalkan oleh Lev Vygotsky, yaitu jarak antara kemampuan aktual siswa (apa yang bisa dilakukan sendiri) dan kemampuan potensial (apa yang bisa dilakukan dengan bantuan).
Vygotsky menekankan bahwa proses belajar akan optimal jika siswa dibantu untuk mengerjakan tugas yang sedikit berada di atas kemampuannya saat ini. Bantuan itu dapat berasal dari guru, orang tua, atau teman sebaya yang lebih kompeten (Vygotsky dalam Budiningsih, 2003). Di sinilah scaffolding menjadi kunci penting dalam memfasilitasi perkembangan kognitif siswa.
Bruner (dalam Nur Asia, 2006) menggambarkan scaffolding sebagai proses di mana siswa dibantu menyelesaikan masalah yang berada di luar jangkauan mereka, dan kemudian secara bertahap bantuan itu dikurangi. Ini memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri dan bertanggung jawab atas proses belajarnya.
Menurut Trianto (2007), scaffolding adalah upaya sistematis dari guru untuk membimbing siswa agar mencapai keberhasilan, dengan memberi petunjuk, dorongan, dan pemecahan masalah bertahap. Bantuan ini diberikan sesuai dengan level perkembangan siswa dan dikurangi secara perlahan seiring peningkatan kemampuan mereka.
Ratnawati Mamin (2008) menyebutkan bahwa scaffolding akan membantu siswa mengatasi keterbatasan kognitifnya melalui bentuk bantuan seperti penguraian masalah, modeling, dan motivasi verbal. Ini memberikan stimulus untuk berkembang secara mandiri dan terarah.
Baca Juga: Viral Penumpang KA Sancaka Terluka Akibat Pelemparan Batu di Klaten, Begini Kata KAI
Penelitian yang dilakukan oleh penulis di SMAN 6 Kota Tangerang Selatan memperlihatkan bahwa penerapan metode scaffolding dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila membawa dampak positif terhadap hasil belajar siswa. Siswa menjadi lebih aktif, percaya diri, dan terlibat dalam proses pembelajaran. Keaktifan dalam bertanya, menjawab, dan berdiskusi meningkat signifikan setelah scaffolding diterapkan.
Gasong (2007) menekankan bahwa scaffolding tidak hanya membimbing, tetapi juga mendidik siswa untuk berpikir logis dan rasional. Hal ini sejalan dengan Nana Sudjana yang menyebut bahwa hasil belajar dalam ranah kognitif mencakup aspek pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Dalam konteks pendidikan karakter, pendekatan ini juga relevan. Pembelajaran Pendidikan Pancasila yang biasanya dianggap berat dan membosankan menjadi lebih menarik saat siswa merasa diberi ruang untuk memahami nilai-nilai secara bertahap dan aplikatif. Mereka tidak hanya menghafal nilai-nilai, tapi mulai menerapkannya dalam konteks sosial.
Baca Juga: Padel hingga Biliar, Ini Daftar 21 Olahraga Berbayar yang Dipajaki di Jakarta
Namun, tantangan masih ada. Banyak guru belum familiar dengan strategi scaffolding dan lebih nyaman menggunakan metode ceramah konvensional. Padahal, dengan scaffolding, guru dapat menyesuaikan bantuan sesuai kebutuhan siswa—memberikan bimbingan yang tepat di saat yang tepat.