KLIKANGGARAN -- Di era digital, media sosial bukan hanya alat komunikasi, tapi juga tempat munculnya tren bahasa yang unik dan aneh. Anak muda kini lebih akrab dengan istilah seperti "gyat", "rizz", dan "sigma male" daripada kata-kata baku. Fenomena ini menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa perlahan-lahan sedang digantikan oleh budaya viral yang absurd. Bahkan dalam percakapan sehari-hari, banyak yang lebih memilih meniru gaya bahasa internet daripada berbicara dengan struktur yang jelas.
Brainrot adalah istilah untuk konten atau gaya bahasa yang terasa "rusak", aneh, dan tidak bermakna, tapi tetap menghibur. Biasanya muncul dalam bentuk meme, suara editan, atau ucapan asal-asalan seperti "cracadilo bombardilo" dan "tung-tung-tung sahur". Meskipun lucu, brainrot seringkali tidak membawa makna yang jelas atau mendalam. Ia lebih menekankan gaya dan sensasi, bukan isi atau pesan yang ingin disampaikan.
Konten brainrot bisa berupa video orang bicara seperti NPC, ngomong “rizz farming” sambil gaya aneh, atau menari dengan caption “sigma male”. Kalimat seperti "gyat detected" dan "slay b*itches", ramai dipakai tanpa konteks. Bahasa seperti ini menyebar cepat karena dianggap lucu dan relate di komunitas online.Sayangnya, bahasa semacam ini juga mudah menggantikan bentuk komunikasi yang lebih masuk akal.
Bahasa brainrot yang terlalu sering digunakan bisa membuat kita kehilangan kepekaan terhadap struktur kalimat yang benar. Saat harus berbicara atau menulis dalam konteks serius, banyak yang kesulitan menyampaikan pikiran secara runtut. Hal ini bisa menurunkan kualitas komunikasi, bahkan logika berpikir. Kemampuan menyusun argumen atau menjelaskan ide pun ikut melemah karena terbiasa dengan ekspresi yang serba instan.
Dulu, orang mengungkapkan kekaguman dengan kalimat “Saya terkesan dengan penampilannya yang sangat luar biasa.” Sekarang, cukup dengan “gyattt”, "eyo this is peak" atau “rizz farming”. Bahasa ringkas dan viral ini memang praktis, tapi tidak melatih keterampilan menyusun kalimat utuh. Bahasa yang baik membutuhkan proses berpikir yang runtut, bukan sekadar mengikuti tren.
Banyak remaja yang terbawa kebiasaan ini ke ranah akademik dan profesional. Tidak sedikit yang bingung membuat laporan karena terlalu terbiasa dengan gaya bahasa internet yang asal jadi. Jika ini terus terjadi, kemampuan menulis formal bisa semakin merosot. Bahkan dalam wawancara kerja pun, sebagian masih membawa gaya bahasa yang kurang sesuai konteks.
Baca Juga: Soal Penunjukan Marketplace Sebagai Pemungut PPh, Begini Kata Kemenkeu
Media sosial adalah ruang ekspresi, tapi penting untuk tahu kapan dan bagaimana menggunakan bahasa yang sesuai. Mari tetap menikmati konten lucu seperti “skibidi toilet”, "tung-tung-tung sahur" atau “sigma male”, tapi jangan lupa cara menulis esai dan berbicara logis. Internet boleh brainrot, tapi otak kita jangan ikut burnout. Gunakan bahasa viral secukupnya, dan tetap pelihara kemampuan berpikir serta berbahasa yang sehat.
Nama: Paras Muhammad Guntara (Mahasiswa Teknik Elektro UNPAM)