opini

Kekuasaan, Kopi, dan Nafsu yang Tak Pernah Kenyang

Jumat, 30 Mei 2025 | 16:53 WIB
Ilustrasi (pixabay/ThomasWolter)

KLIKANGGARAN -- Rahwana tak butuh alasan moral saat menculik Sinta. Ia tak perlu dalil, tak butuh restu dewa, apalagi restu rakyat. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa Alengka—dan dirinya—tak tersentuh. Bahwa ia adalah penguasa yang berhak memiliki segalanya, termasuk perempuan yang dicintai orang lain. Maka perang pun pecah. Hutan berubah jadi medan pembantaian. Kejatuhan pun datang bukan karena kekuatan musuh semata, tapi karena kesombongan yang membuat Rahwana tak tahu kapan harus berhenti.

Seribu tahun kemudian, ambisi serupa masih terus hidup. Ia berganti wajah, menyamar sebagai pembangunan, stabilitas, bahkan kasih sayang pada rakyat. Tapi hakikatnya tetap sama: ketamakan yang membusuk di singgasana.

Kita mengenal watak itu dalam diri Duryudana. Pandawa, yang jelas memiliki hak atas separuh Hastinapura, dihalangi lewat permainan dadu. Duryudana tahu ia tak akan bisa menang secara jantan. Maka kelicikan jadi senjata. Ia tipu, ia bujuk, ia buang para Pandawa ke rimba. Tapi kekuasaan yang dibangun di atas rasa takut selalu berdiri di atas pasir. Perang Bharatayudha adalah klimaks dari kerakusan. Kurawa, yang merasa tak terkalahkan, tumbang satu per satu. Duryudana sendiri tewas dengan tubuh remuk, menyisakan istana kosong yang tak lagi memiliki pewaris.

Sejarah Islam pun menyimpan cermin retak yang sama. Setelah wafatnya Rasulullah, bara kekuasaan mulai menyala. Utsman dibunuh, Ali dipertikaikan, Muawiyah menantang. Puncaknya, Yazid, cucu pendiri Dinasti Umayyah, menumpahkan darah cucu Nabi sendiri di padang Karbala. Husain, yang hanya menuntut kebenaran dan keadilan, dihancurkan atas nama stabilitas kekuasaan. Islam berubah dari gerakan spiritual menjadi struktur kekuasaan dinasti. Rakyat menjadi penonton. Kebenaran menjadi barang mewah. Keadilan dikubur bersama para syuhada.

Kekuasaan, seperti secangkir kopi, selalu tampak memikat dari kejauhan. Hitamnya pekat, aromanya menusuk hidung, dan dari genggaman cangkirnya timbul rasa hangat yang menenangkan. Tapi mereka yang terlalu menikmatinya tanpa batas, lupa: kopi bisa membuat gelisah, membuat jantung berpacu tanpa kendali, bahkan menyebabkan kecanduan yang sulit disembuhkan. Begitu juga kekuasaan. Secukupnya ia bisa membuat stabilitas. Tapi saat terus ditenggak, tanpa jeda, tanpa refleksi, ia meracuni nurani.

Seperti peminum kopi yang terus menambah dosis demi mengejar rasa nikmat pertama yang tak pernah bisa diulang, para pemegang kekuasaan pun kerap terjebak mengejar euforia awal: sorak-sorai rakyat, iring-iringan pejabat, jabat tangan diplomatik, dan pujian dari sekeliling. Tapi rasa manis itu tak bertahan lama. Yang tersisa hanya kegelisahan yang mendalam: bagaimana jika harus berhenti? Bagaimana jika cangkir itu diambil orang lain?

Lord Acton pernah berkata: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Barangkali yang ia maksud bukan hanya soal korupsi uang atau hukum, tapi korupsi jiwa. Kekuasaan membuat orang lupa batas. Lupa bahwa jabatan adalah titipan, bukan warisan. Bahwa memerintah bukan berarti memiliki. Tapi banyak pemimpin yang terus mencari celah untuk tinggal lebih lama di puncak, meski konstitusi memanggil mereka turun.

Machiavelli tahu itu. Dalam Il Principe, ia menulis bahwa penguasa harus pandai menipu, kalau ingin bertahan. Ia tahu manusia tak selalu memilih yang baik. Maka ia menyarankan tipu muslihat. Tetapi tulisan itu bukan selebaran motivasi. Itu peringatan. Jika kekuasaan dilepaskan dari moralitas, maka penguasa akan berubah menjadi binatang, bukan negarawan.

Di negeri ini, sejarah semacam itu tak asing. Kita pernah punya pemimpin yang menolak turun. Yang mengubah hukum agar bisa terus memerintah. Yang menjadikan kekuasaan sebagai warisan keluarga. Mereka jatuh, tapi sering kali digantikan oleh mereka yang belajar dari kesalahan itu—bukan untuk menghindarinya, tapi untuk memperhalusnya.

Kisah Rahwana, Duryudana, hingga Yazid bukan dongeng belaka. Mereka hidup dalam rupa-rupa pemimpin hari ini. Yang membungkus ambisinya dengan senyum manis di baliho atau flyer, yang bicara demokrasi tapi takut membungkam lawan-lawannya. Kekuasaan selalu menggoda. Tapi saat kekuasaan menjadi satu-satunya tujuan, maka yang tersisa hanyalah kehampaan. Dan sejarah, seperti biasa, tak pernah lupa mencatat siapa yang jatuh karena terlalu lama berdiri di singgasana.***

Artikel ini merupakan opini yang disusun oleh Insan Purnama, Founder Klikanggaran.com 

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB