opini

Dua Bahasa, Satu Identitas: Literasi Bahasa Indonesia di Tengah Dominasi Asing

Rabu, 14 Mei 2025 | 19:22 WIB
Ilustrasi (Sumber: The digital speaker)

KLIKANGGARAN -- Generasi Alfa merupakan anak-anak yang lahir sejak tahun 2010 adalah generasi digital pertama yang sejak lahir sudah terbiasa dengan teknologi dan internet. Mereka tumbuh dalam lingkungan multibahasa akibat maraknya konten global, terutama dari media sosial, gim daring, YouTube, dan aplikasi edukatif berbasis bahasa Inggris.

Kondisi ini melahirkan fenomena linguistik baru dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sehingga penggunaan bahasa asing dan bahasa gaul mendominasi dalam komunikasi.

Beberapa contoh fenomena bahasa yang sering muncul di kalangan Generasi Alfa adalah penggunaan istilah asing dalam konteks bahasa Indonesia, seperti:
“Aku tadi nge-like postingan kamu.”
“Dia lagi insecure gara-gara nilai ulangannya jelek.”
“Ayo kita play bareng nanti sore!”

Baca Juga: Inilah Sosok Adhel Setiawan, Laporkan Gubernur Jabar Kang Dedi Mulyadi ke Komnas HAM, Siapa Sebenarnya?

Bahasa gaul dan singkatan tidak baku seperti:
“Gaskeun!” (yang berasal dari “gas kan”)
“Nolep” (no life, menyindir seseorang yang jarang bersosialisasi)
“Mager banget ngerjain PR.”

Pemakaian frasa populer dari platform seperti TikTok atau YouTube, seperti:
“Capcut moment”, “bucin vibes”, “no debat”, dan lain-lain.

Fenomena ini menunjukkan adanya campur kode (code mixing) antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, serta pembentukan kosakata baru dalam bentuk slang yang sering tidak dimengerti oleh generasi sebelumnya.

Baca Juga: 2 Legislator Ikut Latihan Manajemen Dakwah BKPRMI di Luwu Utara

Kondisi ini menimbulkan tantangan dalam pendidikan literasi. Anak-anak menjadi terbiasa menggunakan struktur kalimat dan kosakata yang tidak baku, sehingga kemampuan mereka dalam menulis, membaca, dan berbicara dalam bahasa Indonesia formal bisa menurun.

Misalnya, beberapa siswa kesulitan menyusun kalimat baku dalam tugas menulis karena terbiasa dengan struktur campur-campur seperti “Gue udah try hard tapi nilainya tetap jelek.”

Selain itu, anak-anak juga cenderung kehilangan sensitivitas terhadap makna kata. Kata seperti “insecure” yang dalam psikologi memiliki arti spesifik, bisa saja digunakan secara keliru untuk menggambarkan perasaan malu biasa.

Baca Juga: LMD 1 se-Luwu Raya Resmi Ditutup, Amirudddin: Jadikan BKPRMI sebagai Candu

Untuk mengatasi tantangan ini, pendidikan literasi perlu dikembangkan menjadi adaptif dan kontekstual, yakni:

1. Mengakui realitas bahasa yang digunakan Generasi Alfa sebagai bagian dari budaya mereka, bukan sekadar dianggap penyimpangan.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB