KLIKANGGARAN -- Memahami sastra adalah memahami kehidupan. Ketika mempelajari Sastra Indonesia, saya sering kali menghadapi sebuah pertanyaan: “Seberapa pentingkah mempelajari sastra, dan juga sejarah?”
Pertanyaan ini tidak hanya datang dari orang lain, tetapi datang dari pemikiran saya yang dimulai dari perjalanan mempelajari sastra. Namun, semakin saya mempelajari sejarah sastra, kritik sastra, dan feminisme, semakin saya mulai memahami ketiganya.
Ketiga sastra ini tidak hanya berbicara mengenai text serta karya saja, tetapi juga tentang masyarakat, sebuah perubahan, dan juga refleksi kehidupan. Dalam esai ini, saya ingin berbagi pendapat pribadi saya tentang bagaimana ketiga aspek ini telah membentuk pandangan dunia saya tentang sastra dan pentingnya sastra dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarah Sastra: Melihat ke Masa Lalu untuk Memahami Masa Kini
Sejarah sastra Indonesia mengajarkan saya bahwa karya sastra tidak pernah lahir dalam ruang hampa. Dari era klasik hingga era kontemporer, setiap karya mencerminkan dinamika social, politik, dan budaya pada masanya.
Dalam kajian Siti Nurbaya karya Marah Rusli, saya tidak hanya sekedar membaca ceritanya saja. Namun, di balik itu ada sebuah adat yang tidak bisa dirubah pada masa lalu, yaitu kawin paksa.
Tetapi saya juga dapat memahami bagaiman adat istiadat menjadi system yang menindas individu, khususnya perempuan. Selain itu, saya menyadari bahwa sastra klasik bukan hanya miliki masa lalu, tetapi juga sudah menjadi gamabaran yang sangat relevan untuk penilaian masalah saat ini.
Misalnya, persoalan-persoalan tradisional yang dipaparkan di dalam kisah atau cerita Siti Nurbaya, dimana kita masih menjumpai hal tersebut di dalam masyarakat modern saat ini. Hal ini membuat saya semakin mengapresiasi pentingnya memahami sejarah sastra sebagai landasan analisis terhadap karya sastra yang lahir pada masa sekarang.
Kritik Sastra: Belajar Melihat dengan Sudut Pandang Baru
Salah satu hal yang saya hargai dari mempelajari sastra adalah belajar menilai karya sastra secara kritis. Kritik sastra menyadarkan saya bahwa sebuah karya bisa mempaunyai banyak makna tergantung sudut pandang yang digunakan. Pendekatan formalis.
Misalnya, membantu saya melihat keindahan struktur sebauh karya, sedangkan pendekatan sosiologis memungkinkan saya memahami bagaimana karya tersebut berbicara dengan realitas social. Yang paling mengesankan bagi saya adalah berfungsinya kritik sastra, hal ini membuat saya berpikir lebih dalam.
Tidak hanya tentang isi karya tersebut, namun juga tentang konteks di balik penciptaannya. Membaca puisi Chairil Anwar, kritik sastra membantu saya memahami bahwa kata-kata sederhana seperti, “aku ingin hidup seribu tahun.” Kata-kata ini bukan hanya ekspresi ego pribadi, tetapi juga suara perjuangan kebebasan dalam batas-batas zaman kita.
Feminisme: Mencari Suara yang Hilang
Pengertian feminisme dalam sastra itu adalah salah satu momen paling mencerahkan bagi saya. Sebagai seorang mahasiswa yang tidak terlalu peka terhadap isu gender, saya terkejut saat mengetahui betapa banyak karya sastra yang menormalisasikan penindasan terhadap perempuan.