opini

Memahami Kemenangan Jokowi secara Kritis

Minggu, 18 Februari 2024 | 10:46 WIB
Hitung Cepat pilpres 2024 (Tangkapan Layar YouTube tvOne)

KLIKANGGARAN -- Yang menang dalam Pilpres 2024 bukan Prabowo, melainkan Jokowi. Prabowo, apalagi Gibran, bukan siapa-siapa tanpa Jokowi. Akan tetapi, Jokowi yang dimaksud bukan sekadar seseorang bernama Jokowi, melainkan sebuah lembaga negara yang menghadiri semuanya dan mencakup segalanya. Singkat kata, tidak ada apa-apa di luar negara.

Secara konseptual, definisi negara di era Jokowi mirip apa yang digambarkan oleh James Scott dalam Seeing Like a State (1998). Negara modern menggantikan posisi Tuhan di Abad Pertengahan. Kalau Tuhan menciptakan malaikat untuk mencatat kebaikan dan kejahatan umat manusia, negara menerbitkan angka-angka statistika untuk mengontrol gerak-gerik warga negara.

Saya kira pandemi covid-19 memberikan berkah luar biasa kepada Jokowi. Karena adanya covid itulah Jokowi mampu mengubah negara yang tampak loyo di era sebelumnya menjadi berkuasa penuh terhadap keselamatan warga. Sejak 2020 negara adalah satu-satunya juru selamat yang ditunggu-tunggu kehadirannya di saat masyarakat dan pasar menggelapar tanpa daya.

Covid-19 adalah agensi bagi "ontological turn" kekuasaan negara. Silakan hitung berapa ratus trilyun uang publik yang direalokasikan ketika itu sedemikian rupa sehingga Jokowi merencanakan untuk maju tiga periode dan lalu secara diam-diam menyiapkan anaknya jika rencana tersebut buntu.

Karena momen "ontological turn" itulah negara di era akhir pemerintahan Jokowi menjadi amat sangat berdaya. Inilah kunci kemenangan Probowo-Gibran. Tanpa kendali atas uang publik yang tak berseri itu, Prabowo dan apalagi Gibran bukan siapa-siapa. Tanpa kendali atas uang publik yang tak berseri itu pula, Jokowi sejatinya bukan siapa-siapa.

Dengan demikian, jika ada pandangan bahwa Pilpres 2024 adalah pertarungan antara "perubahan" dan "keberlanjutan", maka pandangan itu jelas amat sangat keliru secara normatif dan empiris. Secara normatif, perubahan yang mengacu pada demokrasi dan keberlanjutan yang merujuk pada pembangunan bukan dua entitas yang bisa dipertentangkan begitu saja. Negara modern seharusnya merengkuh keduanya.

Demokrasi dan pembangunan mestinya bisa berjalan seiring sejalan. Sementara itu, secara empiris kita tidak mempunyai data bahwa para pemilih lebih menginginkan pembangunan daripada demokrasi. Ketika rakyat memilih Prabowo bukan karena mereka lebih memilih pembangunan daripada demokrasi, melainkan karena mereka khawatir dan bahkan takut tidak diberikan bansos lagi!

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Dr. Amin Mudzakkir, Peneliti BRIN

DISCLAIMER: Isi artikel ini tidak mengekspresikan pandangan dan kebijakan redaksi klikanggaran.com

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB