KLIKANGGARAN--Pada dasarnya alam berpikirlah yang merespon segala sesuatu yang ada, yang kemudian terus melakukan kinerjanya baik menggali, menganalisa, mengimajinasi, menginterpretasi dan seterusnya. Sampai daya cipta terlahir menjadi sebuah karya.
Pola hidup yang saling mempengaruhi sebagaimana dalam dunia film gerak. Baik yang disampaikan lewat film layar lebar, game, sinetron, dunia maya lainnya telah memberikan dampak sinifikan dalam tatanan sosial.
Perubahan kultur masyarakat yang awalnya dekat dengan proses dialektika pada nilai etika, kini cenderung hanya bermukim pada nilai estetikanya saja. Orang cenderung melihat bungkus dan kemasan, bukan ukuranya dititik beratkan pada muatan esensinya.
Sebagaimana disinggung dalam diskusi Road Show Ngaji Literasi dan Budaya yang diselenggarakan Lesbumi NUJU pada hari sabtu 22 Januari 2022 dengan mengangkat tema Film dan Usmar Ismail, selaku pendiri Lesbumi dan Bapak Film Indonesia.
Baca Juga: Ups, PM Selandia Batal Nikah karena Omicron
Dikatakan narasumber Aklis Suryapati selaku ketua Sinematek Pusat perfilman Usmar Ismail. Bahwa Tujuan penyelenggaraan film dalam konstitusi adalah pembentukan aqlak mulia dan sampai saat ini apa yang diselenggarakan masih jahu dari tujuan sebagaimana yang diharapkan tujuan perfilman itu sendiri.
Pernyataan diatas juga senada sebagaimana yang diungkapkan oleh narsumber Moch. Dimyati dan Abye Maharullah Madugiri selaku sebagai pengamat sosial kebangsaan dan Cendikiawan muda Jakarta Utara.
Menegaskan bahwa, perkembangan film kekinian hanya terjebak pada kebutuhan industri dan mengalami menyempitkan makna. Muatan tuntunan sebagai usaha menjalankan spirit amal makruf nahi mungkar guna membentuk nasionalisme dan peradaban semakin berkurang.
Disinggung pula bahwa industri perfilman Indonesia sampai saat ini masih dikuasai asing. Terbukti bahwa banyaknya saham kepemilikan gedung film banyak dimiliki oleh orang luar, termasuk tayangan film yang diputar dibioskop bioskop penontonnya hampir 85 % lebih memilih film film Holywood dan yang lainnya.
Itu artinya uang yanng diperoleh dari hasil tiket dominan masuk keluar dari pada bangsanya sendiri.
Maka kita semua perlu berkaca kepada Usmar Ismail, bagaimana mampu keluar dari himpitan kepungan kepentingan yang juga persoalannya tidak jahu beda. Sehingga Usmar Ismail menginisasi membuat festival atau apresiasi film agar bisa masuk pada ajang yang lebih besar. Tentunya Film harus berpijak pada karya seni budaya. Bukan hanya kepentingan industri, agar tidak terus menciderai amanah konstitusi.
Hal yang menarik dari diskusi Ngaji Literasi dan budaya kali ini muncul gagasan, agar Usmar Ismail bukan hanya diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Istilah Citra menjadi kosakata dan menjadi nama penghargaan bagi pelaku dunia perfilman, termasuk tanggal 30 Maret menjadi hari film Indonesia.
Namun tokoh besar Usmar Ismail juga perlu diapresiasi dan didorong bersama menjadi salah satu nama kampus atau sekolah tinggi perfilman yang dibuat oleh NU. Sebagaimana UNUSIA yang sudah didirikan oleh ormas keagamaan terbesar di dunia, yakni Nahdlatul Ulama.
Artikel Terkait
K.H. Yahya Cholil Staquf Resmi Jadi Ketum PBNU ke-11, Simak Rekam Jejaknya
K.H. Yahya Cholil Staquf Ingin Membuat Kabinet Kerja, Maksudnya?
Inilah Alasan Mengapa Karmawibangga Candi Borobudur Ditutup
OSIS SMAN 1 Cikarang Utara Menggelar Diklat untuk Regenerasi
Heboh Warna Seragam Satpam Disamakan dengan Polisi, Tahukah Sejarah Terbentuknya Satpam?
Siapakah Ibu Kasur yang Sekarang Dipajang di Google Doodle? Simak Profilnya Berikut
Kita sering Mendengar dan Melihat Biji, Tahukah Arti Biji Sebenarnya? Simak Penjelasannya berikut