KLIKANGGARAN -- Pusam (Pusat Studi Mataram) bekerjasama dengan AGSI DIY Minggu, 13 Pebruari 2022 melakukan kunjungan dan diskusi sejarah Giyanti bertajuk "Membedah Perjanjian Giyanti".
Acara ini dalam rangka peringatan 267 tahun perjanjian Giyanti di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar. Turut hadir dalam acara itu anggota AGSI Jawa Timur.
Rombongan disambut oleh bapak Yohanes Sigit Pranowo, SH selaku pihak Yayasan Giyanti Kerten Karanganyar.
Memang pada hari itu bertepatan dengan ulang tahun perjanjian Giyanti sehingga lokasinnya penuh dengan perayaan yang juga menghadirkan bazar dan wahana mainan anak-anak untuk menghibur warga di sekitar lokasi perjanjian Giyanti.
Baca Juga: Siapa dan Kenapa Nama Muskan Khan Viral di Seluruh Dunia? Simak Kronologisnya
Lilik Suharmaji, selaku sejarawan yang didapuk sebagai narasumber dalam diskusi dan kunjungan ke Giyanti menuturkan bahwa ada baiknya poros Pedagangan Grobogan, Giyanti dan Jatisari ini dikembangkan dan dijadikan tempat sebagai saksi situs sejarah dalam perjalanan perjanjian Giyanti, sehigga dapat dikenal masyarakat luas.
Lilik menambahkan bahwa tanpa adanya Desa Pedagangan Grobogan tentu tidak ada Perjanjian Giyanti karena di Desa Pedagangan Grobogan itulah tempat bertemunya Gubernur Pantai Timur Jawa Nicolaas Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi berdiskusi tawar menawar untuk mencapai kesepekatan perdamaian yang diwujudkan dalam sebuah perjanjian Giyanti untuk mengakhiri perang Suksesi Jawa III selama 9 tahun.
Sementara itu Giyanti adalah tepat penandatanganan antara pihak Surakarta, Yogyakarta dan Kompeni Belanda yang turut tanda tangan sebagai saksinya. Kedua kerajaan itu masing-masing diwakilkan olek para pembesarnya dan dipihak Kompeni Belanda diwakili oleh Gubernur Hartingh.
Desa Jatisari juga tidak kalah pentingnya, karena desa ini merupakan tempat bertemunya Raja Surakarta, Sunan Paku Buwono III dengan Raja Yogyakarta Sultan Mangkubumi atau yang dikenal dengan Sultan Hamengku Buwono I.
Kedua raja penerus dinasti Mataram Islam itu bertemu untuk rekonsiliasi menuju perdamaian dan melupakan konflik yang selama ini berkecamuk. Bahkan di Desa Jatisari itu Sunan ketiga menyerahkan pusaka Keris Kanjeng Kyai Kopek kepada pamannya, Sultan Mangkubumi sebagai simbul perdamaian antara Surakarta dengan Yogyakarta.
Berangkat dari tonggak sejarah itu maka Lilik Suharmaji mengusulkan antara poros Pedagangan-Giyanti-Jatisari perlu dihidupkan dan dikembangkan untuk pembelajaran genenerasi muda dan masyarakat luas agar mereka mengenal sejarah leluhurnya.
Baca Juga: Ustaz Khalid Basalamah Haramkan Wayang, Ini Jawaban Sudjiwo Tejo
Tentunya untuk menentukan lokasi Desa Pedagangan dan Desa Jatisari sebagai lokasi yang tepat, bukan pekerjaan yang mudah. Selain harus membebaskan lahan juga harus ada sinergitas pihak-pihak terkait untuk mencari titik lokasi yang tepat untuk dijadikan petilasan lokasi bersejarah tersebut, ujar Founder Pusam itu.