Apa Komentar MUI terkait Pernyataan Ustazah Oki Setiana Dewi tentang KDRT?

- Kamis, 3 Februari 2022 | 20:21 WIB
Ustazah Oki Setiana Dewi (Instagram/okisetianadewiofficial)
Ustazah Oki Setiana Dewi (Instagram/okisetianadewiofficial)

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَ
خَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menafsirkan “wadhribuhunna” sebagai suatu tindakan menegur dengan fisik yang tidak melukai terhadap fisik dan mental sang istri. Hal itu bisa dilakukan sebagai jalan terakhir dalam kegagalan membina perkawinan karena kedurhakaan istri yang dibenarkan secara syar’i setelah memberi teguran dan memisah ranjang dengan sang istri (tidak menyetubuhi).

Baca Juga: Kurikulum Protipe Adalah Opsi, Apa Itu Kurikulum Protipe?

Imam Nawawi juga dalam kitabnya, Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyin memberikan rincian bagaimana suatu perbuatan “wadhribuhunna” itu bisa dilakukan. Dalam artian, memukul bukan terminan dari kekerasan, tapi usaha penyadaran. Oleh demikian terdapat ketentuan di dalamnya, seperti nusyuz istri dalam taraf akut, menggunakan sapu tangan, tidak sampai melukai dan membekas di tubuh sang istri dan tidak memukul di area vital yang berakibat fatal terhadap kondisi fisik istri, seperti kepala.

Dalam kitab Shahih Muslim, dari Jabir, dari Nabi Saw, bahwa Nabi SAW pernah bersabda dalam haji wada’-nya:

واتَّقُوا اللهَ فِي النِّساءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن بِالْمَعْرُوفِ

Artinya: Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.

Baca Juga: Apa kata Ridwan Kamil tentang Fase Gelombang 3 Covid, Bosen Gak Bosen Fakta harus Disampaikan. Apa Maksudnya.

Tidak hanya kali ini, isu keagamaan yang beragam mulai dari pencemaran nama baik, legalisasi kemungkaran dalam syariat atau penistaan agama itu sendiri sudah sering memenuhi ruang hidup kebangsaan kita, termasuk normalisasi KDRT saat ini. Latar kemanusiaan yang berbeda berupa etnis, budaya, ras dan agama memaksa kita hidup dalam harmonisasi kehidupan dengan kondisi yang beragam. Barang tentu ini menjadi wujud implikatif yang harus dirawat persatuannya.

Normalisasi KDRT dari seorang ustazah yang hangat diperbincangkan saat ini tentu tidak semata-mata dijustifikasi kesalahannya dan dihakimi orangnya. Dalam permasalahan ini, kita perlu mengurai secara bijak maksud sang ustazah menghadirkan riwayat suatu keluarga dalam ceramahnya yang kemudian memunculkan adanya anggapan legalisasi kekerasan terhadap perempuan.

Dalam ceramahnya, sang ustazah membeberkan kelapangan seorang istri atas perlakuan (kekerasan) suaminya. Bagi ustazah, kelapangan itu dibuktikan bukan hanya dengan ketiadaan perlawanan sang istri kepada suami, akan tetapi juga ketaidaaan keluh kesah istri yang disimpan sendiri, bahkan ketika didapati menangis oleh ibunya sendiri.

Baca Juga: Kemendikbudristek: Bagi Wilayah PPKM Level 2, PTM Terbatas 50 % Mulai 3 Februari, Berikut Ketentuannya!

Di akhir riwayat, ustazah mengungkapkan konklusi naratif: “Jadi nggak perlu menceritakan aib yang sekiranya membuat menjelek-jelekkan pasangan kita sendiri,”

Sang ustazah tampak berusaha menyampaikan urgensi istri menjaga aib keluarga (pasangan)—bahkan dirinya—karena keaalpaan dia dalam menciptakan keharmonisan bersama keluarganya.

Secara bersamaan pula tidak ditampik, ungkapan ustazah juga membuka potensi bagi adanya pemahaman “Normalisasi kekerasan” karena yang ditutupi adalah suatu perbuatan yang diidentifikasi sebagai suatu kekerasan, dan tentu sangat dilarang dalam Islam. (Nada Ibrahim, 2020).

Halaman:

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X