Baca Juga: Profil Frislly Herlind, Diduga Warganet Tengah Dekat dengan Ruben Onsu, Siapa sebenarnya?
Ia terus memimpin rombongan kecil itu untuk tetap jalan meski nalurinya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Udara malam dia rasakan semakin dingin, lebih dingin dari biasanya. Langit tanpa bulan dan bintang menambah suasana mencekam.
Setelah perjalanan pendek yang terasa lama itu, sampailah mereka di puncak bukit. Di hadapan mereka berdiri sebuah rumah tua yang besar dan lapuk. Catnya sudah mengelupas, kaca-kaca jendelanya pecah.
Ketiganya menarik napas, melihat sekeliling dengan tatap mata ragu. Tiba-tiba pintu depan rumah tua itu berderit perlahan, seolah menyambut kedatangan mereka. Lentera tua di serambi depan yang seharusnya tak menyala, entah bagaimana mendadak berpendar redup. Lagi-lagi tiga remaja itu saling menatap.
"Rumi, ini udah nggak beres," kata Rama tiba-tiba. "Lentera itu... bagaimana bisa nyala?"
Tanpa menjawab, Rumi mendekat ke pintu. Bau busuk dan aroma anyir tercium begitu kuat. Tiba-tiba, dari dalam rumah terdengar suara langkah berat, seperti seseorang berjalan dengan menyeret kaki. Shinta mencengkeram lengan Rama erat, wajahnya tegang. Rumi, meski merasa ketakutan, mencoba menenangkan diri dan mengajak masuk.
“Yuk, kita ke dalam, siapa tau ada orang,” kata Rumi dengan suara mulai bergetar.
Belum sempat mereka melangkah, pintu rumah itu terbuka dengan keras, seolah ditendang dari dalam. Di balik pintu, sosok hitam dengan mata merah menyala berdiri tegak. Tubuhnya tinggi besar, rambutnya menjuntai ke tanah, dan wajahnya tak menyerupai manusia. Wajah itu setengahnya berkerut seperti kulit kering, setengah lainnya terlihat membusuk.
"Pergilah... atau kalian akan menjadi bagian dari mereka..." Terdengar suara makhluk itu berat, menyeramkan, dan bergema di telinga mereka.
Ketiga sahabat itu serentak menjerit histeris. Tanpa menoleh lagi ke belakang, mereka berlari sekencang mungkin meninggalkan Bukit Terlarang. Kaki mereka terasa berat, seolah ditarik oleh sesuatu tak kasat mata. Suara tawa kecil yang menyeramkan terdengar mengiringi di belakang mereka, semakin dekat, seperti mengejar. Sampai akhirnya mereka berhasil turun dari bukit dengan napas tersengal.
Sejak malam itu, tak ada lagi yang sama. Rumi, Rama, dan Shinta, menjadi tiga remaja pendiam. Mereka mulai mengalami mimpi buruk yang sama setiap malam. Mimpi tentang sosok hitam besar yang berdiri di depan pintu rumah tua di puncak bukit.
Desa Palang Ireng sangat tahu, Bukit Terlarang tak boleh disentuh, tak boleh dilihat, bahkan dilirik, terutama di malam Jumat Kliwon. Kesepakatan itu sedemikian terjaga selama ini.
Tapi sekarang, tiga remaja sudah menjadi bagian dari rahasia kelam Bukit Terlarang. Sosok itu mungkin tak akan membiarkan mereka pergi begitu saja. Pada malam Jumat Kliwon berikutnya, ketika kabut tebal menyelimuti desa, Rumi mendengar ketukan di jendela kamarnya—tiga kali, dengan suara berat yang ia kenali.
Di rumah lain di sebuah kamar, Rama meringkuk di sudut kamar. Tubuhnya menggigil kedinginan. Wajahnya pias, matanya nyalang menatap wajah yang ia kenali di cermin.