Baik novel maupun film mengangkat tema utama yang sama, yaitu cinta dalam perspektif religius, proses hijrah, serta keikhlasan menghadapi kehilangan. Namun, novel menempatkan tema tersebut dalam kerangka refleksi spiritual yang lebih kuat.
Pesan moral sering disampaikan secara eksplisit melalui narasi dan perenungan tokoh utama. Pembaca diajak untuk merenungkan makna takdir, kesabaran, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Film menyampaikan tema dan pesan yang sama, tetapi dengan pendekatan yang lebih emosional dan visual. Musik, pencahayaan, serta adegan dramatis digunakan untuk membangun suasana haru dan empati. Pesan keikhlasan dan ketabahan tidak banyak disampaikan melalui kata-kata panjang, melainkan melalui adegan-adegan simbolis yang menyentuh perasaan penonton.
Pengalaman emosional yang ditawarkan novel dan film 172 Days juga berbeda. Novel memberikan pengalaman yang lebih kontemplatif; pembaca memiliki waktu untuk berhenti, merenung, dan memahami setiap perasaan tokoh. Kesedihan dan kehilangan terasa perlahan namun mendalam.
Film, di sisi lain, memberikan pengalaman emosional yang lebih langsung dan intens. Penonton dapat merasakan kesedihan secara instan melalui visual dan musik yang mendukung. Adegan-adegan tertentu dirancang untuk menggugah emosi secara cepat, meskipun tidak selalu disertai penjelasan batin tokoh secara rinci.
Secara keseluruhan, novel dan film 172 Days memiliki tujuan yang sama, yaitu menyampaikan kisah tentang cinta, iman, dan keikhlasan dalam menghadapi takdir. Namun, perbedaan medium membuat keduanya memiliki kekuatan dan keterbatasan masing-masing.
Novel unggul dalam pendalaman karakter dan refleksi batin, sementara film unggul dalam penyampaian emosi secara visual dan dramatik. Keduanya tidak saling menggantikan, melainkan saling melengkapi. Dengan membaca novel dan menonton filmnya, pembaca dan penonton dapat memperoleh pemahaman yang lebih utuh mengenai makna kisah 172 Days.***
Artikel ini merupakan resensi yang ditulis oleh Debby Delian, Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Pamulang
Artikel Terkait
Lebih Dekat dengan Budaya Jawa ketika Membaca 'Novel KKN di Desa Penari'
Eksplorasi Emosional dalam "172 Day" oleh Nadzira Shafa: Perspektif Ferdinand de Saussure
Ketika Aku dan Kamu Menjadi "Kita": Perjalanan Mencari Pemahaman di Tengah Perbedaan Karya Ayu Rosi
Dekonstruksi Pasung Jiwa: Perempuan dan Feminisme dalam 'Pasung Jiwa' Karya Okky Madasari
Tindak dan Tutur Kata Memengaruhi Keistimewaan Cerita pada Novel 'Hujan di Bulan Juni' karya Sapardi Djoko Darmono
Menelisik Interpretant dalam Cerpen Ratu Kalinyamat: Dalam Teori Charles Sanders Peirce