KLIKANGGARAN-- Karya sastra dan film sering kali saling berkelindan, terutama ketika sebuah novel diadaptasi menjadi film. Proses adaptasi ini tidak sekadar memindahkan cerita dari teks ke layar, melainkan melibatkan seleksi, penyederhanaan, serta penafsiran ulang oleh pembuat film.
Hal ini juga terjadi pada 172 Days, sebuah kisah yang diangkat dari pengalaman nyata dan dituangkan pertama kali dalam bentuk novel, lalu diadaptasi menjadi film layar lebar.
Baik novel maupun film 172 Days menyampaikan cerita tentang cinta, hijrah, keikhlasan, dan kehilangan, namun keduanya menghadirkan pengalaman yang berbeda bagi pembaca dan penonton. Perbedaan medium menyebabkan perbedaan cara bercerita, pendalaman karakter, serta penekanan pesan yang ingin disampaikan.
Secara garis besar, novel dan film 172 Days mengisahkan perjalanan hidup seorang perempuan bernama Zira yang mengalami proses hijrah, menemukan cinta melalui pernikahan dengan Ameer, dan kemudian harus menghadapi kenyataan pahit berupa kehilangan dalam waktu yang sangat singkat, yakni 172 hari pernikahan.
Cerita ini berpusat pada makna cinta yang tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan duniawi, tetapi juga pada keikhlasan menerima takdir Tuhan. Walaupun alur utama antara novel dan film sama, cara penyampaian dan kedalaman ceritanya berbeda secara signifikan.
Novel 172 Days menggunakan alur yang lebih luas dan reflektif. Cerita berkembang perlahan dengan banyak penjelasan mengenai latar belakang tokoh utama, proses hijrah yang dijalani, serta konflik batin yang dialami.
Pembaca diajak mengikuti perjalanan emosional tokoh dari fase keraguan, pencarian makna hidup, hingga akhirnya mencapai titik keikhlasan. Alur novel terasa lebih mendalam karena disertai narasi batin yang panjang dan detail.
Sebaliknya, film 172 Days menyajikan alur yang lebih ringkas dan padat. Keterbatasan durasi membuat film harus memilih adegan-adegan yang dianggap paling penting dan berdampak emosional.
Beberapa bagian dalam novel yang bersifat kontemplatif atau refleksi internal tidak ditampilkan secara lengkap dalam film. Alur film lebih menekankan peristiwa-peristiwa utama, seperti pertemuan tokoh, pernikahan, dan masa-masa kritis menjelang kehilangan. Akibatnya, cerita film terasa lebih cepat, tetapi tetap berfokus pada inti konflik.
Dalam novel, tokoh Zira digambarkan secara sangat mendalam. Pembaca dapat memahami pikiran, ketakutan, harapan, dan pergulatan batin yang ia alami melalui monolog internal dan narasi deskriptif.
Tokoh Ameer juga digambarkan bukan hanya sebagai sosok pasangan, tetapi sebagai figur yang memberi pengaruh besar terhadap perubahan spiritual dan emosional Zira. Kedalaman karakter ini membuat pembaca merasa dekat secara emosional dengan tokoh-tokohnya.
Sementara itu, dalam film, penggambaran tokoh lebih bergantung pada ekspresi visual, dialog, dan akting para pemeran. Karakter Zira dan Ameer tetap kuat, tetapi kedalaman psikologisnya tidak sedetail dalam novel.
Perubahan emosi tokoh ditunjukkan melalui bahasa tubuh, tatapan, dan suasana adegan. Film lebih menampilkan “apa yang terjadi”, sedangkan novel menjelaskan “apa yang dirasakan”.
Artikel Terkait
Lebih Dekat dengan Budaya Jawa ketika Membaca 'Novel KKN di Desa Penari'
Eksplorasi Emosional dalam "172 Day" oleh Nadzira Shafa: Perspektif Ferdinand de Saussure
Ketika Aku dan Kamu Menjadi "Kita": Perjalanan Mencari Pemahaman di Tengah Perbedaan Karya Ayu Rosi
Dekonstruksi Pasung Jiwa: Perempuan dan Feminisme dalam 'Pasung Jiwa' Karya Okky Madasari
Tindak dan Tutur Kata Memengaruhi Keistimewaan Cerita pada Novel 'Hujan di Bulan Juni' karya Sapardi Djoko Darmono
Menelisik Interpretant dalam Cerpen Ratu Kalinyamat: Dalam Teori Charles Sanders Peirce