Selain itu, latar budaya Jawa yang kental dalam novel juga harus diterjemahkan dengan hati-hati ke dalam film. Nuansa budaya yang diungkapkan melalui bahasa, adat istiadat, dan simbol-simbol dalam novel, perlu divisualisasikan dengan akurat dan sensitif dalam film.
Sutradara dan tim produksi harus memastikan bahwa elemen-elemen ini tidak hilang atau terdistorsi dalam proses adaptasi, sehingga esensi cerita tetap terjaga.
Secara keseluruhan, membandingkan novel "Hati Suhita" dan adaptasi filmnya melalui lensa teori sastra bandingan memungkinkan kita untuk melihat bagaimana dua medium yang berbeda dapat saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain.
Meskipun terdapat perbedaan dalam penyampaian emosi dan penggambaran karakter, kedua bentuk karya ini tetap menghadirkan inti cerita yang sama, yaitu perjuangan Alina Suhita dalam mencari cinta dan pengakuan. Intertekstualitas membantu kita memahami bahwa setiap adaptasi adalah proses kreatif yang menghasilkan karya baru dengan makna dan interpretasi yang unik.
Artikel ini ditulis oleh Paryati, Mahasiswa Sastra Indonesia
DISCLAIMER: Isi artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis; isi artikel ini juga tidak mencerminkan sikap dan kebijakan redaksi klikanggaran.com.
Artikel Terkait
Lirik Lagu Populer Bernadya-Kini Mereka Tahu Punya Majas Pengulangan
Analisis Feminisme dalam Cerita Pendek "Perempuan yang Menulis di Dalam Bus" Karya Anton Kurnia
Representasi Perempuan dalam Novel "Kata" Karya Rintik Sedu: Pendekatan Sosiologi Sastra
Menelisik Kritik terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan Pemuka Agama dalam Novel "Cantik Itu Luka"
Kritik Sosial dan Pesan Moral dalam Novel "Mondang versus Jakarta"