(KLIKANGGARAN) – Setelah sebelas tahun vakum, Pasar Seni ITB kembali digelar pada 18–19 Oktober 2025 di Kampus Ganesha, Institut Teknologi Bandung (ITB). Acara empat tahunan yang terkenal dengan pameran produk kreatif, kuliner, dan pertunjukan kesenian itu kembali menghadirkan beragam ide nyentrik. Salah satu yang paling menyita perhatian tahun ini adalah stan yang menjual “ijazah”.
Stan yang berlokasi di area lapangan basket Pasar Seni ITB pada 19 Oktober 2025 itu mengusung tajuk “Membukukan Pasar Seni. Menyenikan Pasar Buku” dan diinisiasi oleh Kelompok Keilmuan Literasi Budaya Visual (KKLBV) Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB.
Ketua KKLBV, Prof. Yasraf Amir Piliang, mengatakan bahwa ide “menjual ijazah” merupakan bentuk sindiran terhadap maraknya kepalsuan yang mewarnai kehidupan sosial dalam satu dekade terakhir.
“Dari mulai pejabat sampai masyarakat sudah kehilangan kejujuran dan integritas. Hal itu ditandai dari jual-beli gelar yang menghilangkan nilai-nilai di balik proses mendapatkan gelar itu sendiri,” jelas Yasraf.
Dalam “ijazah” tersebut tertulis nama universitas “Institut Pasar Seni Indonesia” dengan tanda tangan Prof. Yasraf sebagai Rektor dan Prof. Acep Iwan Saidi sebagai Dekan Fakultas Berlaku Sehari. Ijazah ini hanya berlaku sehari dan diberikan sebagai bentuk apresiasi bagi pengunjung Pasar Seni yang hadir pada 19 Oktober 2025.
Menurut Prof. Acep Iwan Saidi, ijazah tersebut bukan ijazah dalam arti formal, namun juga tidak bisa disebut palsu karena tidak diklaim sebagai dokumen resmi pendidikan.
“Kami tidak mendaftarkan ijazah ini ke KPU sebagai syarat menjadi pejabat publik untuk dipilih rakyat. Kami pikir ini satir yang serius karena pengunjung banyak yang ngantri untuk mendapatkannya. Itu artinya, mereka bersama kami,” ungkap Acep.
Baca Juga: Tragedi Timothy Anugerah di UNUD: Luka Sosial, Keteguhan Ayah, dan Pelajaran soal Empati Kampus
Salah satu pengunjung yang membeli ijazah simbolik ini adalah Iwan Pirous, putra dari A.D. Pirous, seniman legendaris sekaligus pencetus Pasar Seni ITB. Iwan menilai bahwa karya ini memiliki pesan sosial yang kuat tentang makna simbolik dari ijazah itu sendiri.
“Orang akan silau dengan ijazah. Tidak akan tahu apakah itu palsu atau asli. Tapi menurut saya, ijazah ini bukanlah ijazah palsu. Karena orang yang menandatangani itu asli ada,” ujar Iwan Pirous.
Aksi satir dua profesor ITB ini pun mengundang berbagai reaksi dari pengunjung. Beberapa di antaranya berkelakar setelah menerima ijazah bertanda tangan dua profesor tersebut.
“Kalau saya beli, bisa jadi presiden ga?” celetuk salah satu pengunjung yang disambut tawa pengunjung lain.