opini

Terobosan Pendidikan di Era Pandemi Covid-19

Senin, 12 Juli 2021 | 18:30 WIB
20210712_185930


Pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia, berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Baik dari sektor industri, keuangan dan tidak terkecuali sektor Pendidikan.


Pandemi Covid-19 telah mengubah wajah pendidikan kita, hal ini bisa kita lihat dari proses pembelajaran yang tidak lagi mengutamakan tatap muka (luring), melainkan pembelajaran jarak jauh (daring). Pembelajaran yang berbasis pada teknologi yang dilaksanakan dengan sistem daring yang memanfaatkan internet (Rosenberg, 2015). Kendati, pembelajaran jarak jauh telah menghasilkan berbagai inovasi dan kreativitas dalam proses pembelajaran. Nyatanya masih ada saja masalah yang terjadi. Fakta di lapangan menunjukkan pembelajaran online saat ini membuat semua orang merasakan kesulitan dalam hal menjalankan proses belajar mengajar. Kesiapan terhadap teknologi dan sekaligus penggunaannya adalah hal dasar yang menjadi faktor utama keberhasilan proses pembelajaran jarak jauh.


Aspek penting dalam meningkatkan keterampilan pembelajaran jarak jauh harus secepatnya ditingkatkan, di antaranya dengan program pelatihan guru-guru dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk kelancaran dalam pembelajaran jarak jauh, guru tidak cukup hanya memiliki keterampilan teknologi dasar (seperti menggunakan komputer dan tersambung ke internet), tetapi juga pengetahuan untuk menggunakan perangkat rekaman dan perangkat lunaknya, serta metode untuk menyampaikan pelajaran tanpa interaksi tatap muka (video pembelajaran yang menarik). Keterampilan tersebut akan diperlukan ketika akan menggunakan platform belajar daring (Azzahra, 2020).


Selain itu, proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama masa pandemi covid-19 ini seharusnya tetap dapat mengakomodasi kebutuhan belajar siswa untuk mengembangkan bakat dan minat sesuai dengan jenjang pendidikannya. Hal ini bisa terwujud jika ada kerjasama dari berbagai pihak, antara guru, peserta didik, dan bahkan orangtua peserta didik.


Nadiem Makarim (2021), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, mengungkapkan perlu adanya empati antara guru dengan orang tua dan orang tua dengan guru. Empati baru yang dimaksudkan adalah terjalin saling pengertian bahwa guru menyadari pentingnya peran orangtua berkontribusi menyukseskan pendidikan anak. Selain itu, orang tua menjadi sadar betapa sesungguhnya tugas guru dalam mendidik anak anak mereka tidaklah mudah.


Hal tersebut penting dipahami oleh semua pihak, melihat Kondisi Pembelajaran Jarak Jauh saat ini belum dapat disebut ideal sebab masih terdapat berbagai hambatan yang dihadapi. Sejak 16 Maret 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sekitar 213 pengaduan baik dari orang tua maupun siswa terkait pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (Kompas, 2020).


Selain itu, banyaknya kasus peserta didik yang terserang secara mental, psikis maupun kondisi pembelajaran itu sendiri yang disebabkan oleh Pembelajaran Jarak Jauh. Berdasarkan data yang diperoleh dari survei penilaian cepat yang dilakukan oleh Satgas Penanganan Covid-19 menunjukkan bahwa 47% anak Indonesia merasa bosan di rumah, 35% merasa khawatir ketinggalan pelajaran, 15% anak merasa tidak aman, 20% anak merindukan teman-temannya, dan 10% anak merasa khawatir tentang kondisi ekonomi keluarga (BNPB, 2020).


Kondisi ini apabila tidak segera diatasi, tentunya akan menyebabkan hal yang lebih fatal. Sebut saja, MI, 16, seorang remaja siswa kelas 2 SMA di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, yang nekat mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun rumput (17/10/20) karena diduga mengalami depresi akibat tekanan pembelajaran jarak jauh yang dialaminya. Sebelum meminum racun tersebut, MI sempat mengeluh kepada temannya bahwa dia mengalami kesulitan dalam mengakses tugas belajar di sekolah akibat sinyal di area rumahnya yang tidak baik. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa anak dan remaja yang mengalami pembatasan aktivitas belajar di rumah adalah kelompok rentan mengalami gangguan kesehatan mental (Media Inonesia, 2020).


Kondisi di atas bisa semakin mencekam bila metode belajar mengajar melalui Pembelajaran Jarak Jauh tidak dikemas dengan berbagai inovasi, sehingga anak atau peserta didik tidak dapat mengeksplor kreativitas dan terbebani dengan tugas yang menumpuk. Sebab masih banyak ditemukan sebagian guru dan sekolah ternyata tetap memberikan penugasan dalam takaran ‘normal’ saat situasi belum lagi normal. Sebagaimana survei KPAI yang dilakukan pada 13 April-20 April 2020 dengan total responden 1.700 gabungan siswa mulai dari jenjang TK sampai SMA/sederajat dan tersebar di 20 Provinsi dan 54 Kabupaten/Kota, menghasilkan sebanyak 77,8 persen siswa kesulitan karena tugas yang menumpuk antar guru. Terlebih lagi waktu pengumpulan tugas yang terbilang pendek. Belajar daring pun mulai direspons dengan apatis meski ada kesadaran bahwa itulah opsi terbaik dari yang terburuk saat ini.


Tentu sejumlah rekayasa sosial dalam menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh di tengah pandemi covid-19 telah ditempuh. Namun dalam praktiknya kita membutuhkan banyak kreativitas dalam mengembangkan daya pikir anak. Sebagai contoh, sistem Pendidikan kita masih menggunakan cara belajar hafalan, yang di mana menurut Einsten sistem pembelajaran yang masih menggunakan hafalan dapat mematikan kreativitas anak dan mematikan semangat belajar.


Semestinya pendidikan bisa dimaknai dengan konsep bahwa cara belajar yang benar adalah jika seorang anak bisa memahami atau paham lalu dapat mengaktualisasikannya. Dengan   demikian   kita   harus mampu  menyelenggarakan proses belajar yang bersifat partisipatif. Pembelajaran ini menitik beratkan pada keaktifan individu dalam mencari atau berinisiatif belajar mandiri dan aktif dalam proses belajar. Penekanan pembelajaran bukan hanya mengajarkan sesuatu kepada peserta didik kemudian menyuruhnya mengerjakan soal agar memiliki jawaban baku yang dianggap benar oleh tutor, akan tetapi proses pembelajarannya harus menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan dan eksperimen untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan yang baru serta membentuk sikap dan kepribadian peserta didik (Turrohmah, 2016).


Kita perlu menyadari bahwa anak-anak di zaman sekarang sudah sangat siap dalam merespons perkembangan zaman melalui teknologi, sehingga wajar generasi saat ini disebut sebagai generasi gadget atau generasi menunduk. Banyak hal-hal lain yang anak-anak saat ini dapatkan melalui teknologi sehingga kecakapannya dalam keilmuan non-akademik lebih mumpuni daripada keilmuan akademik. Hal itu menandakan bahwa konsep pembalajaran yang berangkat dari rasa ingin tahu dapat mendorong minat/bakat seorang anak, sehingga hal tersebut dapat terciptanya ruang aktualisasi dan kreativitas bagi anak.


Konsep dan logika ini bisa ditumbuhkan dalam sisitem Pendidikan kita, di Indonesia. Anak-anak tidak perlu diyakini dengan pembelajaran secara seragam atau sama, sebab setiap anak mempunyai kecerdasannya masing-masing sesuai bidang dan keahliannya. Tapi orangtua maupun tenaga pendidik dapat mendorong dan mendukung anak terhadap keahliannya, agar ke depan kemampuan yang dimiliki generasi saat ini seimbang dengan perkembangan dan kebutuhan industri. Dengan begitu para anak-anak di seluruh Indonesia dapat membangun rencana-rencana pengelolaan diri yang lebih nyata dan mendapatkan relasi sosial yang lebih erat satu sama lain.


Penulis : Robiatul Adawiyah (Wiwi)

Halaman:

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB