opini

Menyoal Fungsi Otoritatif BPOLBF

Kamis, 20 Mei 2021 | 12:38 WIB
PicsArt_05-20-12.36.18


Labuan Bajo,Klikanggaran.com - Komunitas Komodo Lawyer Club (KLC) mengadakan diskusi mingguan di Kantor mereka, Jalan Lamber Kape Labuan Bajo, Sabtu (24-4-2012). Tema diskusinya adalah Kontroversi Keberadaan BPOLBF.


Sebagian refleksi ini terinspirasi oleh aneka gagasan bernas yang mengemuka dalam ruang itu. Saya tidak berpretensi untuk menarik semacam ‘benang marah’ dari diskusi itu. Apa yang disodorkan di sini, hanyalah cara pandang saya yang serba terbatas dalam menangkap riuh-rendah perdebatan dalam forum itu.


Landasan yuridis dibentuknya Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 32, Tahun 2018. Januari 2019, struktur kepengurusan lembagai itu dikukuhkan secara resmi oleh Negara.


Jika Perpres itu menjadi rujukan perdebatan tentang eksistensi BPOLBF, maka rasanya tidak ada lagi yang perlu diperbincangkan. Negara sudah mendesain instrumen regulasi untuk menjustifikasi keberadaan dan kiprah institusi ini di Labuan Bajo. Segala sesuatu yang berkaitan dengan fungsi dan peran lembaga itu dalam mempercepat proses kemajuan pembangunan sektor kepariwisataan di Flores, diatur secara jelas dalam Perpres tersebut.


Kita sering mendengar penjelasan bahwa pembentukan BPOLBF itu sendiri sesuai dengan komitmen Pemerintah Pusat (Pempus) untuk melakukan akselerasi pembangunan Pariwisata di kawasan 10 Bali Baru yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia dan BPOLBF merupakan satu dari empat BPO yang dibentuk di empat destinasi super prioritas yang diberi amanat untuk melakukan akselerasi pembangunan pariwisata melalui fungsi koordinatif dan otoritatif di kawasan Labuan Bajo dan 7 Kabupaten lainnya di daratan Flores.


Fungsi koordinasi sebagai salah satu fungsi utama yang dimiliki BPOLBF, antara lain mencakup fasilitasi, advokasi, dan moderasi terkait pengembangan kawasan pariwisata di Labuan Bajo dan wilayah Flores yang merupakan zona koordinatif BPOLBF. Untuk diketahui bahwa zona koordinasi yang berada di bawah BPOLBF adalah 8 Kabupaten di Flores dan satu Kabupaten di wilayah NTB.


Dengan demikian, pengembangan industri pariwisata itu tidak semata-mata berkonsentrasi di kawasan Labuan Bajo, tetapi juga terdistribusi hingga ke seluruh wilayah koordinasi BOPLBF di Flores dan Kabupaten Bima di NTB.


Secara teoretis-normatif pihak BPOLBF begitu optimis bahwa tidak akan ada benturan dan tabrakan antara keberadaan BPOLBF dengan Pemerintah Kabupaten dalam kerangka otonomi daerah sebab BPOLBF tampil luntuk memperkuat fungsi koordinasi, sehingga menjamin eksistensi kehadiran dan peran dari seluruh dinas atau lembaga yang sudah ada khususnya yang mengurusi kepariwisataan.


Terkait fungsi otoritatif, BPOLBFmempunyai kewenangan (otoritas) untuk menciptakan destinasi baru (hand made destination) di kawasan yang dikuasai oleh Negara. Dalam Perpres itu dijelaskan bahwa BPOLBF akan mengelola lahan seluas 400 hektar di kawasan hutan Bowosie-Nggorang.


Untuk memuluskan agenda ‘penguasaan itu’, regulasi formal diutak-atik agar status perolehan dan kepemilikan lahan itu bersifat legal. Dibuatlah peraturan baru bahwa kawasan Hutan Lindung itu akan dikonversi menjadi area bukan hutan yang untuk selanjutnya menjadi area bisnis pariwisata. Status rencana lahan otoritatif tersebut bergantung pada proses verifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sudah bisa ditebak bahwa hasil verifikasi KLHK tentu saja sejalan dengan ‘ide besar Negara’ untuk memperlancar proses alih fungsi atas lahan itu.


Karena bagaimana pun juga, pembangunan yang dilakukan BPOLBF hanya bisa dilakukan di atas kawasan lahan otoritatif, sebab fungsi paling utama yang dimiliki BPOLBF adalah fungsi koordinatif. BOPLBF tidak punya kewenangan membangun apapun di luar kawasan otoritatif.


Narasi yang dibangun selama ini adalah BPOLBF merupakan salah satu elemen untuk memperkuat pemerintah daerah (Pemda) dalam menata sektor pariwisata. Negara menilai bahwa Pemda tak mampu untuk mengelola industri pariwisata secara progresif dan akseleratif.


Sering juga dikemukakan bahwa kehadiran BPOLBF bukan untuk menggantikan peran pemerintah daerah, namun salah satunya untuk melakukan pemberdayaan dan penguatan kapasitas pemerintah daerah dan ini harus menjadi domain BPOLBF.


Untuk itu, selau ada seruan politis agar perlu dilakukan pertemuan-pertemuan lebih lanjut antara DPRD, BPOLBF, bersama Pemda untuk lebih mendalami manfaat keberadaan BPOLBF, khususnya bagi masyarakat Manggarai Barat secara keseluruhan.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB