opini

Penegak Hukum Harus Usut Siapa Petinggi Pertamina Dipecat Presiden

Kamis, 11 Maret 2021 | 17:17 WIB
Pertamina gedung pusat


Jakarta,Klikanggaran.com - Pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, pada hari Selasa 9-3-2021 di depan Rakernas Penguatan Ekosistem Inovasi Technologi BBPT 2021, bahwa ada pejabat tinggi Pertamina baru dipecat langsung oleh Presiden yang tentu mengejutkan dan menarik untuk disimak karena telah menimbulkan spekulasi luas diruang publik.


Pasalnya, meskipun Luhut tidak menyebut siapa nama pejabat yang dipecat itu, namun lebih lanjut dia menegaskan pejabat terkait dipecat lantaran persoalan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), secara tegas diakatakan Pertamina ngawurnya minta ampun, masak pipa tersebut sudah diproduksi di dalam negeri tetapi malah diimport juga.


Namun yang publik paham, terakhir pada 15 Febuari 2021, Kementerian BUMN mendadak melakukan RUPS luar biasa, yaitu telah menganti Dirut PT Kilang Pertamina Indonesia (KPI) dari Igantius Telulembang ke Djoko Priyono dan Dirut PT Pertamina Power Indonesia (PPI) dari Heru Setiawan ke Danif Danusaputro, serta mengangkat Dirut PT Pertamina Geothermal Indonesia, Ahmad Yuniarto.


Padahal saat itu, SVP Corporate Communication Pertamina & Investor Relation Pertamina, Agus Supriyanto, mengatakan bahwa pergantian yang dilakukan Kementerian BUMN adalah untuk mencapai target perseroan jangka pendek hingga jangka panjang, termasuk mencakup peningkatan kinerja dan memperluas portofolio bisnis Pertamina, anehnya keterangan Pertamina itu bertolak belakang dengan apa yang diucapkan oleh Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan.


Jika pernyataan Menko Marves benar, maka persoalan ini jadi serius dan tidak cukup dipecat saja, akan tetapi harus diusut tuntas sampai ke proses penegakan hukum, karena ternyata tindakan pejabat yang dipecat itu, selain telah melanggar aturan Pemerintah dan GCG, dikatakan telah menyumbang defisit neraca transaksi berjalan yang berujung bisa berpotensi merusak perekonomian negara, yaitu ikut mematikan pertumbuhan industri pipa di dalam negeri.


Sebab, soal TKDN sudah diatur secara tegas oleh Peraturan Menteri ESDM nomor 15 tahun 2013 tentang Acuan Penggunaan Produksi Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Perindustrian nomor 29 tahun 2017 tentang Tata Cara Perhitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri.


Berdasarkan UU Migas nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, jika kegiatan proyek di hulu migas dibawah pengendalian dan pengawasan SKK Migas, sedangkan jika proyek di hilir seperti pembangunan kilang Pertamina (RDMP/ Refinery Develoment Mega Project) dan PLTG Jawa 1 adalah di bawah pengawasan dan pengendalian Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM.


Ironisnya, Sekjen dan Dirjen Migas K-ESDM merangkap jabatan sebagai anggota komisaris Holding dan sub holding Pertamina, akibatnya bisa dibaca oleh publik mereka tak mampu menjalankan fungsinya dengan baik dan hanya makan gaji buta.


Artinya, sesuai pernyataan Menko Kemaritiman bahwa hanya pejabat Pertamina yang ditindak adalah kurang sempurna, karena tugas pengendalian dan pengawasan juga harus ikut tanggung renteng atas kesalahan yang dilakukan pejabat Pertamina tersebut.


Mengingat, pada 31 Agustus 2020 Pertamina oleh VP Corporate Communication, Fajriah Usman, telah merilis diberbagai media, bahwa sesuai data hasil evaluasi Badan Pengawas Pembangunan (BPKP) selama 3 tahun terakhir, yaitu sejak tahun 2017 sampai 2019, TKDN Pertamina sudah mencapai rata rata 45,8%, dan realisasi tahun 2020 yang saat itu baru memasuki pertengahan   tahun TKDN Pertamina telah mencapai rata rata 54%, valid-kah data ini?.


Oleh sebab itu, agar publik tidak bingung dengan pernyataan Menko Marves di atas, seharusnya penegak hukum (KPK, Kejaksaan Agung, dan Bareskrim) segera menelisik mana yang benar antara informasi yang dirilis oleh Menko Marves dengan Pertamina.


Bisa jadi dari hasil investigasi penegak hukum yang profesional, banyak atasan pejabat tinggi Pertamina yang sudah dipecat, harus dipecat juga.


Ini persoalan serius, karena ketidak efisien-an proyek RDMP Balikpapan itu bernilai sekitar USD 4 miliar atau setara Rp57 triliun, akan mengakibatkan BPP (Biaya Pokok Produksi) BBM akan semakin tinggi, ujungnya rakyat tak akan pernah menikmati harga BBM murah ketika harga minyak mentah pada posisi terendah.


Penulis: Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB