opini

Catatan Tercecer RR ke-21, Januari 2021: Tiga Seruan Tuhan Itu Pilihan Hidup Manusia

Senin, 1 Februari 2021 | 19:47 WIB
IMG-20210201-WA0003


Tiga Seruan Tuhan yang Pertama ditujukan kepada penciptaan makhluk hidup paling sempurna. Manusia dipilih karena bukan Malaikat atawa Syaitan, yang berbeda dimensi; apalagi dibanding karakteristik Flora & Fauna.


Dimulai seruan Wahai Manusia, dilanjut Wahai Orang Beriman, diakhiri Wahai Makhluk Berpikir. Mereka diberikan Tuhan akan hak & kewajiban yang sama; kecuali diberi kebebasan pilihan pemanfaatan akal dan nurani.


Alhasil, keyakinan (agama) Samawi (langit) pun memilah & memilih manusia memiliki karakter yang mewarnai kehidupan bumi. Kontroversi itu dimulai sejak Tuhan berencana menjadikan Adam, Sang Nabi, sebagai Khalifatullah di bumi. Protes Malaikat, sang makhluk ahli ibadah, juga tak berkutik ikut perintah Sang Khalik.


Kecuali syaitan. Yah, hanya syaitan yang diijinkan Tuhan ikut memilah & memilih manusia menjadi sekadar Orang Beriman ato Makhluk Berpikir. Manusia Beriman yang Berpikir, tentu, mampu memurnikan ajaran langit dari campur tangan tipu-tipu rayuan Dajjal, si-Mata Satu.


Lagi-lagi, si-mata satu Dajjal pula yang diijinkan Tuhan Azza Wazalla ikut memilih & memilah Tiga Seruan Tuhan yang Kedua. Yaitu Wahai Orang Beriman, Wahai Orang Munafik, Wahai Orang Kafir (bagi non-muslim) atau Gembala Tersesat (bagi non kristiani) Atawa Maitrah (bagi non Hindu) ato Abrahmacariyavasa bagi non buddhist.


Namun rupanya Tiga Seruan Tuhan itu pula penyebab kedigdayaan makhluk-makhluk serupa Friedrich Hegel dan Karl Marx. Dua filsuf asal Jerman itu menggugat keyakinan kepada Tuhan. Karl Marx, bahkan, tegas-tegas menyatakan agama itu opium (candu) bagi masyarakat.


Makna pernyataan Marx, sesungguhnya, menunjukkan ketidakberdayaan perlawanan nurani kebenaran dari hakiki kehidupannya. Katanya, percaya bahwa agama memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat yang mirip dengan fungsi opium terhadap orang sakit atau cedera. Opium mengurangi rasa sakit, dan memberi ilusi yang menyenangkan kepada si sakit.


Di sisi lain, agama seperti opium, juga mengurangi energi dan keinginan mereka (pemeluknya) untuk melawan realitas yang opresif, tak punya hati, dan tak punya jiwa yang telah dipaksakan kapitalisme kepada mereka. Seperti tulisan Marx berjudul, "A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right" dalam jurnal Marx Deutsch–Französische Jahrbücher, yang berkolaborasi dengan Arnold Ruge, 1844.


Marx, atawa Hegel, atau filsuf lain, boleh berteori bebas tentang kehidupan duniawi. Tetapi, urut-urutan ke-empat Rasul pembawa Kitab Samawi telah diyakini pemeluknya sebagai solusi kehidupan yang penuh gegap gempita dengan godaan Tiga-Ta yaitu Tahta, Harta & Wanita.


Padahal agama itu ibarat pedal rem dalam filosofi kendaraan bermotor, yang menjadi pengendali keselamatan di jalanan kehidupan sebagai pilihan privasi manusia. Selain kemudi menjadi kendali arah, juga pedal gas seumpama syahwat. Wallahu'alam Bisshowab. ***RR


Penulis: Rinaldi Rais, Wartawan Al-Faqir


Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB