opini

Media Massa, Antusiasme Masyarakat, dan Opini Publik di Era Jokowi

Rabu, 30 Desember 2020 | 16:49 WIB
IMG-20201230-WA0013



Artikel ini ditulis oleh Pengamat Sosial dan Politik, Rizki Hakiki Valentine.






Jakarta,Klikanggaran.com - Teriakan sebagian masyarakat yang menuduh bahwa rezim Jokowi mengkriminalisasi ulama, dan mereka yang meyakini bahwa Jokowi anti Islam dan represif terhadap muslim tidak akan mungkin muncul begitu saja tanpa stimulan. Informasi yang disampaikan media pada masyarakat adalah salah satu hal yang mendorong munculnya prasangka, tindakan preventif, kemarahan, bahkan
pemberontakan.


Media setiap jamannya menjadi esensi masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai agent of change, media memberikan pengaruh terhadap pembentukan pola pikir dan tingkah laku masyarakat sekaligus menjadi pelopor perubahan dalam lingkungan publik. Sebagai gatekeeper, media massa memutuskan hal apa saja yang perlu diberitakan berdasarkan standar para pengelolanya. Apalagi jika sebuah media masa terafiliasi dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan, media massa bisa berpotensi kehilangan independensi.

Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media massa inilah yang kemudian akan mendasari respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek. Perbedaan atau bahkan kesalahan dalam proses pemberitaan akan membuat audience menerima pesan yang tidak objektif, sehingga menimbulkan gambaran yang salah pula terhadap objek. Yang disasar media massa jelas audience. Media online justru kadang memakai clikbait pada judul untuk menaikkan jumlah page view. Tentu saja media massa paham bahwa agama adalah hal yang cukup ‘menarik’ dan ‘menggelitik’ di Indonesia yang membuat audience sangat antusias untuk terus update.

Selama beberapa minggu berturut-turut, media arus utama Indonesia terus mengekspose pemerintah dan aparat kepolisian yang sibuk dengan aksi-aksi beraroma identitas agama Islam. Berawal dari berita deportasi Rizieq Shihab dari Arab Saudi, penjemputan Rizieq Shihab yang dideportasi Arab Saudi mengakibatkan kerusakan bandara internasional Soekarno Hatta, pencopotan baliho bergambar Rizieq Shihab yang dilakukan oleh TNI, aksi demo masyarakat Indonesia yang menolak kedatangan Rizieq Shihab di kota-kota mereka, makian ‘lonte’ pada salah satu public figure, hingga penembakan 6 simpatisan FPI yang mengawal Rizieq Shihab, membuat masyarakat beringas menuntut transparansi pengusutannya.

Berita tentang aksi-aksi ini terkesan terlalu diglorifikasi oleh berbagai website berita. Perkembangan sekecil dan seremeh apapun mengenai hal di atas, bisa dibagikan sebanyak ratusan kali di sosial media oleh pembaca. Harus diakui bahwa masyarakat akan terus menjadi audience setia dari pemberitaan di bidang keamanan sehubungan dengan adanya radikalisme dan terorisme. Masyarakat pada akhirnya secara tidak sadar terlena oleh perhelatan drama tokoh relijius. Dengan mengatasnamakan demokrasi, kebebasan pers jelas menjadi kekuatan media massa, baik yang independen ataupun yang sudah disetir pihak tertentu.

Pengusutan korupsi, diplomasi antara Indonesia dengan negara lain, kerjasama bilateral, perkembangan ekonomi digital Indonesia dan sebagainya seakan-akan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah dan aparat berwenang. Apalagi penangkapan Rizieq Shihab seolah menstimulasi simpatisannya untuk mempublikasikan ujaran kebencian baik secara tertulis ataupun dengan percaya diri mengunggah video memaki presiden, ataupun aparat. Tak ketinggalan beberapa ulama beraksi dengan tindakan melanggar hukum; ujaran kebencian dan berita hoax. Aparat yang sigap menindak pelanggar hukum, membuat media sosial dipenuhi sorak-sorai sebagian masyarakat atas kebangkitan penegak keadilan.

Semua tahu, dunia tidak pernah steril dari provokator. Media sosial adalah tempat paling strategis bagi perdebatan sengit, baik debat dengan analisa yang masuk akal atau hanya debat kusir berisi makian. Pendapat, prasangka dan pelintiran berita bisa dibagikan oleh siapa saja. Psikologi masyarakat yang cenderung latah membuat masyarakat otomatis memberikan komentar bahkan hanya setelah membaca judul tanpa membuka tautan berita. Opini juga terbentuk lewat sana.

Masyarakat Indonesia sangat antusias pada isu relijiusitas, radikalisme, dan pemberitaan tentang beberapa tokoh agama yang tersandung kasus pidana, membuat media massa getol meng-update informasi tentangnya. Tanggapan masyarakat yang silang pendapat memunculkan opini bahwa rezim Jokowi otoriter, mirip Orde Baru, anti Islam, dan ingin melemahkan aqidah muslim Indonesia dengan memenjarakan para ulama. Sebagian lagi memaki aparat sebagai pihak yang tidak becus menindak koruptor, rezim memiskinkan rakyat dan ‘memelihara’ koruptor dan sebagainya.


Tuduhan seperti ini memang agak menggelikan karena proses hukum menindak kasus korupsi tidak semudah menyeret copet ke kantor polisi. Masyarakat pun jelas tidak mengikuti prosesnya karena lebih tertarik pada tautan situs berita tentang Rizieq Shihab, FPI, dan ulama yang terjeblos ke balik jeruji. Tidak cukup sampai disitu, pemerintah dikaitkan dengan kegagalan mengatasi covid19, korupsi, bangkitnya ‘hantu’ PKI, hingga OPM yang sebenarnya sedang ditangani oleh yang berwenang. Masyarakat seolah lupa ada hal lain yang tidak kalah penting dari sekedar memantau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh tokoh agama.

Media massa yang terus menyajikan informasi terkini tentang drama tokoh religi yang melibatkan beberapa politisi, rupanya menjadi bahan rumpian yang cukup asyik untuk mengusir kebosanan di masa pandemi. Namun ketidaksempurnaan audience dalam mengolah informasi, kerancuan pola pikir, dan berita hoax menjadi problem utama dewasa ini. Ini yang membuat baik pendukung ataupun pembenci rezim Jokowi sama-sama membentuk opini, spekulasi, dan fitnah yang memanaskan iklim kerukunan dalam negeri.


Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB