opini

LONTE: Oh My God!

Jumat, 4 Desember 2020 | 16:54 WIB
lonte


Sebuah opini yang ditulis oleh Soffa Ihsan, Marbot Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku).





Kata ‘lonte’ sekonyong bising. Ia viral dan menjadi trending topic dimana-mana.  Kata yang dulu dinajiskan dan hanya diujarkan di bilik-bilik sunyi, kini  digaharkan. Sebelumnya khalayak dunia dikejutkan oleh kelompok ultra radikal ISIS yang tak segan-segan dengan dalih agama mentahkikkan sebuah ‘jihad seks’ yang memperbudak terlebih perempuanYazidi tangkapannya sebagai lampias nafsu yang tak ubahnya memaksa jadi lonte. Senyerempet itu pernah pula terbit buku bertajuk ‘Jihad Lipstik’ (2007) yang ditulis oleh Azadeh Moaven, seorang wartawan Amerika, keturunan sekaligus eksil masa revolusi Islam Iran. Buku sastra ini sebuah memoar yang mengisahkan ‘revolusi’ dikalangan perempuan Iran yang menjurus pertingkahan kebebasan.


Nah, ujaran yang memekakkan di ranah publik itu tetiba memantik ingatan saya pada sebuah pertemuan beberapa tahun silam. Kala itu, saya melawat ke sebuah kota di ujung utara negeri ini. Usai seharian blusak-blusuk, malamnya saya diajak teman untuk hang out di sebuah kafe khusus mementaskan musik rock klasik seperti Deep Purple, Led Zeppelin, Van Halen dan lainnya. Wah, ini baru hobi saya, bro.


Dalam suasana riuh musik, pandangan saya tertatap pada seorang wanita yang lagi duduk di depan meja bartender, sembari asyik goyang-goyangkan tubuhnya. Wajahnya biasa saja. Cuma tampilannya cukup aduhai. Baju you can see panjang seperti daster membelit tubuhnya yang sawo matang. Saya tanyakan pada teman saya. Katanya cewek itu namanya sebut saja Murni, asalnya dari desa sekitar kota ini. Hampir tiap malam, dia nongkrong di kafe untuk mencari tamu. Tapi, yang bikin saya sertamerta kaget, ternyata dia tuna wicara. “Si Murni  itu bisu sudah sejak kecil. Dia sempat kawin, kemudian cerai. Tak punya anak. Lalu dia mengadu nasib ke sini. Kosnya gak jauh kok dari kafe ini,” cerita teman saya yang asli daerah itu.


Pikiran saya langsung berkecamuk. Betapa sungguh sulit pikiran ini memahami. Yang mumbul adalah kesan sumir beradu dengan rasa belas kasih. Benar-benar tak tepermanai. Bagaimana mungkin dalam keadaan fisik yang tak sempurna, Murni masih percaya diri untuk menerjuni dunia perlontean yang kerap amat diskriminatif, banyak persaingan, karena makin banyak cewek-cewek cantik yang pilih jual tubuh daripada kuliah atau kerja kantoran? Di sana terngangah kuasa;”pria punya selera”. Laki-laki hidung belang tentu akan pilih-pilih. Saya hanya berpikir, dia pasti dalam keadaan yang amat terpaksa. Satu-satunya yang bisa dijual adalah  seonggok bagian tubuhnya yang masih normal.


Malam sudah larut. Tamu-tamu kafe satu persatu merengsek keluar. Saya lihat Murni duduk bersandar di kursi. Agaknya, tidak ada tamu yang mengajaknya kencan. Saya datangi dan tawari untuk mengantarkannya pulang. Dia mau dan tampak wajahnya berbinar-binar. Mungkin mengira saya mau ajak dia ke hotel. Saya beri isyarat, pulang saja. Besok kan masih ada waktu. Di mobil saya tercenung, merajang-rajang diri di hadapan kenyataan yang benar-benar sedang hadir di hadapan saya. 


Tak seberapa lama, mobil berhenti di pinggir jalan tepat di deretan rumah petak nan sederhana. Di sampingnya, berdempetan dengan mushola kecil yang tampak terawat bagus. Saya dan teman ikut turun, hingga mengantarkannya di depan pintu rumah. Sekejap “naluri santri” saya memijar-mijar. Saya coba-coba bertanya dengan bahasa isyarat, apakah dia juga menjalankan shalat. Dia pun mengangguk-angguk bahkan dengan begitu semangat tangan kanannya menunjuk ke atas, seraya tangan kirinya melingkar diperutnya. Rupanya, dia benar-benar ingin menunjukkan bahwa dia pun menjalankan rukun Islam kedua itu.


Tubuh yang Terlipat


Terlalu banyak kisah yang mengobok-obok pikir. Ada berjibun-jibun warta yang melipat-lipat logika yang terbiasa tegak lurus. Mungkin saja belum banyak terekam oleh mata umum. Atau memang dipetieskan, karena terlanjur ditatap sumpah serapah. Tapi ada blessing in disguise yang terbalut dalam fakta itu bahwa bekerja menjadi lonte dan agama bisa berjalan seiring. Sebaliknya, bekerja secara normal saja bisa kerap menyingkirkan peran agama.


Pada masa ini, seolah-olah kita sudah mempunyai kesepakatan tentang warna profesi lonte, kelam. Itulah yang agaknya menyebabkan kita melihat keremang-remangan kehidupan ini. Kehidupan semacam ini dianggap patologis. Sekian buku ilmiah nan tebal telah ditulis para pakar dalam rangka mengatasi penyakit sosial ini. Sekian pula karya fiksi dikarang dengan sikap: mengutuk atau empati pada kehidupan perlontean. Sementara penjajaan komoditas perlontean ini kian berlangsung terus.


Ya, riak zaman telah memberantakkan pola pandang tentang seksualitas. Budaya pop dengan pengaruhnya yang bertubi-tubi telah melahirkan iklim seksual yang makin menggila. Dunia seakan berada di tubir sexual clash of civilization. Kini ada yang percaya bahwa zaman kapital sudah berangsur melenyap. Sebuah masa ‘paska-kapitalis’ telah mendarat. Sebab, kini bukan lagi modal yang berkuasa, melainkan informasi. Inilah era netrokrasi yang menempatkan informasi menjadi  ‘modal kultural’.


Di era digital ini, coba kita pelototi di twitter begitu banyak iklan perlontean. Tawaran BO atau cukup VCS dengan ragam menu seperti MILF, BDSM, threesome dan swinger. Menariknya, folowernya bisa puluhan ribu hingga ratusan ribu. Boro-boro ribuan, saya buat twitter komunitas literasi saya saja hingga lebih setahun hanya 24 followernya,  alamak!


Begitulah keterselubungan yang mewah dan keterbukaan yang papa ini membuat ukuran penilaian sosial bergerak makin tak pasti. Remangkah kehidupannya, ataukah cemerlang dalam pesta para eksekutif? Ia menyatu dalam sikap dasar yang sama. Sikap dasar ini bertolak dari pandangan mengenai tubuh sendiri dan makna lonte. Bahwa tubuh merupakan modal kerja, dan perlontean adalah aktivitas yang punya nilai yang jangkauannya tidak sebatas rumah tangga. Dari sikap dasar inilah lahir motif yang beraneka.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB