opini

FSGI: Perpanjang PJJ demi Keselamatan Siswa-Guru, tetapi Jangan Menggeser Tahun Ajaran Baru

Kamis, 28 Mei 2020 | 14:32 WIB
IMG_20200528_142607


KlikAnggaran.com — Mencermati perkembangan persoalan pendidikan di tengah pandemi Covid-19 saat ini, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memberikan beberapa catatan khususnya terkait persiapan Tahun Ajaran Baru 2020/2021 dan kesiapan sekolah untuk segera dibuka (diaktifkan) kembali.


FSGI berpendapat, jika wacana pembukaan sekolah pada pertengahan Juli 2020 harus dipikirkan matang-matang, tidak tergesa-gesa, dan harus memperhatikan data terkait penanganan Covid-19 di tiap wilayah. Serta menuntut koordinasi, komunikasi, dan validitas data yang ditunjukkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.


Jika kondisi penyebaran Covid-19 masih tinggi, sebaikanya opsi memperpanjang metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) adalah yang terbaik. Mesti dipahami juga bahwa, perpanjangan pelaksanaan PJJ tidak akan menggeser Tahun Ajaran Baru 2020/2021 artinya Tahun Ajaran Baru tetap dimulai pertengahan Juli, seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya pembelajaran dilaksanakan masih dengan metode PJJ. Demikian diungkapkan Satriwan Salim (Wasekjen FSGI) dalam keterengannya kepada media.


Berikut ini adalah uraiannya:


Pertama, FSGI berpandangan bahwa keselamatan dan kesehatan siswa dan guru adalah yang utama, menjadi prioritas. Mengingat kasus-kasus seperti di Perancis, Finlandia, Korea Selatan, dan lainnya. Guru dan siswa jadi korban positif Covid-19 setelah sekolah dibuka (diaktifkan) kembali pascapandemi. Tak menutup kemungkinan ini bisa terjadi di Indonesia. Jangan sampai sekolah dan madrasah menjadi kluster terbaru penyebaran Covid-19. Apalagi ada fakta di sejumlah negara yang menunjukkan perkembangan ancaman penyebaran Covid-19 Gelombang ke-2. Ini akan sangat menakutkan bagi siswa, orang tua, dan guru.


Kedua, kemudian hal lain dikemukakan Fahriza Tanjung (Wasekjen FSGI) terkait komunikasi, koordinasi, dan pendataan terkait penyebaran Covid-19 antara pemerintah pusat dan daerah harus diperbaiki. Sejauh ini dia melihat koordinasi dan komunikasi yang buruk antara pusat dan daerah, seperti terlihat dalam pendataan Bansos. Ini penting dilakukan, sebab pemerintah daerah adalah yang paling memahami daerah tersebut. Maka kami mendukung pernyataan Nadiem Makarim yang menunggu keputusan dari Gugus Tugas Covid-19 terkait mana wilayah yang benar-benar zona hijau dan yang tidak. Tentu dengan berkoordinasi kemudian dengan pemerintah daerah. Tak kalah penting juga yaitu informasi mengenai: siapa yang berwenang menetapkan sekolah dibuka atau tidak. Baru-baru ini Pemerintah Kota Bukittinggi sudah menetapkan pertengahan Juli nanti sekolah-sekolah akan diaktifkan kembali. Padahal di sisi lain pemerintah pusat belum memutuskan. Alhasil para siswa, guru, dan orang tua pun bingung. Ini yang mesti segera dibenahi. Jangan sampai daerah berjalan sendiri-sendiri, membuka sekolah Juli tanpa koordinasi dengan pusat, yang akan mengorbankan siswa dan guru.


Ketiga, Fahriza yang merupakan guru SMK Negeri di Medan ini menambahkan seandainya komunikasi, koordinasi, dan pendataan sudah benar-benar valid dan meyakinkan sehingga pemerintah membuka sekolah pada pertengahan Juli di Zona Hijau misalnya. Maka FSGI meminta dinas pendidikan dan sekolah harus menyiapkan berbagai sarana kesehatan pendukung. Sekolah harus menyiapkan: _hand sanitizer_ di tiap ruangan; sabun cuci tangan; perbanyak keran cuci tangan; semua warga sekolah wajib mengenakan masker; penyediaan APD di UKS/klinik sekolah; dan menerapkan Protokol Kesehatan secara ketat. Begitu pula Kemdikbud harus segera membuat Pedoman Pelaksanaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang dikombinasikan dengan Protokol Kesehatan. Sebab MPLS kali ini akan sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.


Keempat, Fahriza juga mengingatkan mengenai kenaikan kelas termasuk format Penilaian Akhir Tahun (PAT) tiap jenjang satuan pendidikan yang akan dilaksanakan beberapa minggu ke depan. FSGI berpandangan, jika di sekolah (daerah) tersebut pelaksanaan PJJ sudah efektif maka nilai kenaikan kelas bisa diambil dari akumulasi proses pembelajaran yang selama 1 semester ini dilakukan, baik _record_ nilai sebelum pandemi maupun setelah pandemi (PJJ). Mengenai format PAT-nya, Dinas Pendidikan dan Sekolah tetap harus mempertimbangkan akses siswa terhadap internet dan kepemilikan gawai. PAT tak bisa dilakukan serentak di waktu yang sama bagi semua siswa, mengingat banyak siswa tak punya gawai di 1 sekolah tertentu, atau pun punya hanya 1 gawai, itu pun dipegang orang tua. Jadi pelaksanaan PAT harus dengan prinsip fleksibilitas, berkeadilan, non-diskriminatif, dan tak merugikan siswa.


Sedangkan bagi sekolah (daerah) yang tak efektif dalam pelaksanaan PJJ selama tiga (3) bulan ini, bahkan relatif tak berjalan karena keterbatasan gawai, jaringan internet, bahkan keterbatasan listrik, maka nilai kenaikan kelas siswa bisa diambil dari proses pembelajaran selama sebelum pandemi (sebelum belajar dari rumah diterapkan). Format PAT-nya pun bisa dengan penugasan portofolio belaka. Berbeda dari yang PJJ online. Oleh karenanya, FSGI meminta Kemdikbud-Kemenag memberikan penguatan kembali kepada dinas pendidikan dan kepala sekolah (termasuk guru). Bahwa prinspinya siswa jangan dirugikan. Jangan sampai ada siswa tak naik kelas di masa krisis pandemi ini. Walaupun prinsip pengelolaan sekolah berdasarkan "Manajemen Berbasis Sekolah" (MBS) yang bermakna ada otonomi yang besar dari sekolah. Tapi ada tantangan bagi kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan yang terkadang tak cukup arif dan bijak dalam proses penilaian siswa di masa pandemi ini. Atau ada juga fakta kepala sekolah belum percaya diri sepenuhnya dan otonom dalam mengelola PJJ. Mengingat rumitnya birokrasi pendidikan daerah dan pelaporan administratif yang terkadang tak rasional dan berkeadilan.


Kelima, kemudian Satriwan melanjutkan, agar kondisi benar-benar aman dan sehat, maka opsi yang patut dipilih Kemdikbud dan Kemenag adalah dengan memperpanjang masa PJJ selama 1 semester ke depan sampai akhir Desember, atau setidaknya sampai pertengahan semester ganjil (akhir September). Ini bertujuan agar sekolah benar-benar bersih dan terjaga dari sebaran Covid-19. Data menunjukkan grafik penyebaran Covid-19 di beberapa daerah sudah menunjukkan penurunan (melandai).


Kemudian Satriwan menegaskan, tentunya opsi perpanjangan PJJ ini dengan perbaikan-perbaikan di segala aspek, misalnya jaminan keadilan oleh pemerintah terhadap akses internet dan gawai yang tak dimiliki semua siswa. Perbaikan dalam pengelolaan PJJ yang terkait dengan kompetensi guru. Maka Kemdikbud dan Kemenag wajib membuat evaluasi terhadap pelaksanaan PJJ yang sudah dilaksanakan selama 3 bulan ini. Demi perbaikan PJJ ke depan. Termasuk tindak lanjut disain Kurikulum Darurat yang adaptif dari Kemdikbud. Dia mengungkapkan, FSGI mengapresiasi Kemenag dalam hal ini yang sudah membuat disain Kurikulum Darurat selama krisis pandemi, sesuai dengan rekomendasi FSGI beberapa waktu lalu di depan Menteri Agama.


Keenam, memulai tahun ajaran baru pada pertengahan Juli 2020 dan membuka kembali sekolah adalah dua (2) topik yang berbeda. Tahun ajaran baru 2020/2021 tetap dimulai pada Juli, tetapi opsi membuka sekolah aktif kembali tak mesti juga dilakukan pada pertengahan Juli seperti diuraikan sebelumnya. Oleh karena itu usulan agar tahun ajaran baru diundur ke Januari 2021 akan berisiko dan berdampak besar terhadap: sistem pendidikan nasional; eksistensi sekolah swasta; pendapatan/kesejahteraan guru swasta; psikologis siswa; dan sinkronisasi dengan Perguruan Tinggi baik dalam maupun luar negeri. Demikian ucap Satriwan yang merupakan guru SMA di bilangan Jakarta Timur.


Dia menambahkan bagi FSGI, ada risiko ekonomi yang besar jika tahun ajaran baru diundur menjadi Januari 2020. Sekolah swasta akan terancam keberadaannya. Sebab selama 3 bulan PJJ ini saja, para orang tua sudah tak mau dan mampu bayar SPP. Ada fenomena meningkatnya tunggakan SPP orang tua kepada sekolah di masa krisis pandemi ini. Karena dampak ekonomi Covid-19 bagi keluarga. Orang tua menilai, pengeluaran sekolah tak besar sebab tak lagi pakai fasilitas sekolah selama PJJ. Maka mereka membayar SPP separuh, dan ini berimplikasi kepada gaji guru swasta. Laporan ke kami sudah banyak sekolah swasta di Jabodetabek yang memotong gaji gurunya sampai 50%. Misal sekolah SMK di Jakarta Utara, SMA di Jakarta Timur, SMP di Bogor, SD di Tangerang, dst.


Bagaimana dengan masa 1 semester ke depan. Aktivitas belajar dipastikan tak ada, tak ada tagihan penilaian untuk rapor juga. Pastinya para orang tua tak akan mau membayar SPP, sebab menilai sekolahnya tak ada pembelajaran. Maka waktu kosong selama enam (6) bulan berdampak kepada guru swasta dan pastinya bagi psikologis siswa. Mereka akan bosan, jenuh menunggu selama 6 bulan. Tak ada aktivitas pembelajaran yang berarti. Kondisi ini berpotensi membuat anak-anak stres dan tak menutup kemungkinan mencari pelampiasan secara negatif. Oleh karena itu pilihan jalan tengah yang relatif baik adalah dengan memulai tahun ajaran baru 2020/2021 pada Juli 2020, dengan memperpanjang PJJ sampai 1 semester ke depan atau setidaknya sampai September 2020. Demi keamanan, keselamatan, dan kesehatan siswa, guru, dan orang tua.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB