Tiada yang lebih sedih.
Ketika lihat seorang ayah yang masih berjuang di jalan mencari rezeki.
Atau lihat seorang ibu yang bingung mencari alternatif masak selain nasi. .
Ada juga yang lebih buat sedih.
Ketika lihat orang-orang kaya memborong kebutuhan hidup di tengah pandemi.
Beras, gula, minyak, susu, hingga indomie semua ludes dibeli.
Bahkan tak segan juga membeli alat pelindung diri untuk kemudian dijual kembali.
Lalu kanan-kiri tetangga nyinyirkan orang yang mati.
Mati sebab corona lebih aib daripada orang yang korupsi.
Grup-grup WA juga nyinyir dan debat tentang berita tak pasti.
Info bantuan makanan, kouta, hingga duit menjadi konsumsi tiap hari.
Corona tetap menjadi berita utama di sosial media dan televisi.
Menyajikan penambahan orang yang terinfeksi, sembuh, dan mati.
Beritakan juga tentang ojek, angkot, usaha, dan jalanan yang sepi.
Dampak dari kebijakan yang diberlakukan pemerintah provinsi.
Belum lagi dengan pendidikan.
Guru semangat mengajar, murid malas untuk belajar.
Diberi materi, alasan tak mengerti.
Diberi tugas, alasan kouta abis atau wifi mati.
Tidak diberi materi dan tugas, bilang guru cuma menikmati gaji.
Anak-anak muda juga sok merasa gagah.
Masih banyak nongkrong dan ngopi di luar rumah.
Malas untuk belajar.
Diberi materi, alasan tak mengerti.
Diberi tugas, alasan kouta abis atau wifi mati.
Harusnya tahu kalau corona selalu jadi berita utama di sosial media dan televisi.
Memangnya sudah siap dinyinyirkan tetangga ketika mati?
Coba renungkan usaha ayah-ibu yang tetap berjuang mencari sesuap nasi.
Ya, beginilah Indonesiaku hari ini.
Dengan segala pandemi, kepanikan, keegosian, dan pemanfaatan situasi yang sedang terjadi.
Sungguh sangat ironi.