opini

"Tamparan" Pemerintah kepada Pertamina dan PLN

Sabtu, 4 April 2020 | 11:21 WIB
Yusri Usman


JAKARTA (KLIKANGGARAN)-- Publik terkaget bak petir disiang bolong, ketika Menteri BUMN Erick Tohir dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelar jumpa pers hari jumat 4/4/2020 mengatakan berdasarkan hasil rapat Menteri BUMN dengan Menteri Keuangan serta Menteri ESDM Arifin Tasrif, Pemerintah telah sepakat dalam mengatasi dampak ekonomi dari penyebaran covid19 terhadap rakyat tak mampu, pemerintah memutuskan akan memberikan dana subsidi sektor energi langsung kepada rakyat yang berhak, sehingg dana subsidi BBM dan biaya lisrik tidak lagi diberkan kepada BUMN Pertamina dan PLN.


Tujuannya agar subsidi itu dikucurkan prosesnya lebih transparan dan diharapkan BUMN lebih fokus saja menjalankan aksi korporasinya, tidak hanya itu, peralihan subsidi ini untuk menghindari praktek akal akalan pembukuan keuangan BUMN, ini merupakan wilayah " grey area" yang akhirnya mohon maaf yaitu melakukan praktek "window dreasing", nah ini yang saya gak mau, kata Erick Tohir.


Memang susah dibantah bahwa apa yang dikatakan Erick Tohir dalam hal ini tentu sangat benar, kasat mata bahwa Pertamina dan PLN telah melakukan praktek memoles laporan keuangan akhir tahun supaya terlihat kinclong dimata publik, yaitu memasukan piutang subsidi Pemerintah kedalam laporan akhir keuangannya yang sudah di audit oleh akuntan publik, padahal dana subsidi energi itu belum dianggarkan dalam APBN tahun tersebut, akan tetapi baru akan dianggarkan pada APBN tahun depan, sehinggal hal itulah kadang menyebabkan laporan keuangan Pertamina dan PLN sering molor disajikan ke publik dibandingkan BUMN Lainnya, bahkan lebih jauh secara tidak langsung Erick Tohir telah mencurigai bahwa dana subsidi energi selama ini banyak diselewengkan.


Contohnya pada thn 2019 lembaga CERI telah mengkritisi terkait laporan akhir keuangan Pertamina 2018 dengan memasukan dana subsidi BBM tahun 2017 dan tahun 2018 pada laporan keuangan Pertamina 2018, dan laba laporan keuangan PLN tahun 2018 mendadak naik tinggi labanya dengan memasukan nilai diskon harga jual gas dari PT PGN Tbk senilai Rp 5 triliun untuk jangka waktu 15 tahun kedepan, akan tetapi telah dibukukan sebagai pendapatan tahun 2018, anehnya dilaporan keuangan PGN yang audited tidak ada catatan hutang PGN kepada PLN ( link beritanya terlampir).


Atau bisa juga ada alasan lainnya yang tidak diungkap oleh Erick Tohir ke media, jangan jangan dia telah mencurigai untuk apa diberikan subsidi BBM kepada Pertamina, karena sampai saat ini belum juga mengoreksi harga jual BBM nya dan mereka lagi meraih untung besar, karena Presiden Jokowi pada 20 Maret 2020 sudah menyatakan diberbagai media bahwa sudah memerintahkan para menterinya untuk segera melakukan kalkulasi ulang supaya bisa ditentukan harga BBM baru yang sesuai harga minyak dunia yang sudah terjun bebas, paling rendah selama 18 tahun terakhir.


Kemudian tak lama Pertamina oleh VP Corporate Communication Fajriah Usman pada 23/3/20 menyatakan bahwa Pertamina mungkin akan mengoreksi harga BBM apabila sampai akhir maret harga minyak mentah dunia tetap melemah, lebih lanjut dia mengatakan kepada sejumlah media telah mengakui bahwa sejak diumunkan oleh pemerintah bahwa virus corona yang dikenal covid 19 sudah menyerang kita pada awal bulan maret, akibat adanya kebijakan " stay at home and work from home", komsumsi BBM nasional perharinya sudah turun 8%, yaitu dari semula 134,78 ribu kilo liter menjadi 124,74 ribu kilo liter perhari (1/4/2020).


Namun sangat disayangkan sampai awal April, kenyataan Pertamina alih alih menurunkan harga BBM, malah sesumbar ke media akan membeli lebih banyak lagi minyak mentah import untuk dilakukan penimbunan di tangki tangki dan di floating storage, tentu pertanyaannya apakah kapasitas tangkinya Pertamina sudah memadai ? Baik di kilang maupun di Depo / Terminal BBM. sejak kapan Pertamina sudah membangun fasilitas tanki yang besar, sebagai contoh proyek terminal Lawe Lawe masih sebatas judul proposal saja ?.


Padahal pada waktu sebelumnya Fajiriah Usman mengatakan bahwa 92% minyak mentah produksi dalam negeri sejak bulan Febuari 2020 sudah masuk kilang Pertamina, termasuk minyak mentah milik KKKS yang sebelumnya selalu di ekspor, artinya ada sekitar 670.000 barel masuk kilang Pertamina dari total lifting nasional sekitar 715.000 barel, tak pernah terjadi sepanjang sejarah, begitu banyak minyak entitlement KKKS bisa dibeli pertamina untuk masuk ke kilang minyaknya. Sudah barang tentu hal ini ada kejanggalan.


Harusnya gejala itu menjadikan pertanyaan bagi fungsi ISC ada faktor apa penyebabnya, secara sederhana peristiwa tersebut sudah dapat dipastikan bahwa KKKS mengalami kesulitan menjual minyak mentah nya kepasar export, akibat adanya perlambatan ekonomi dunia terkait mewabahnya covid19, sehingga mengakibatkan pasokan minyak mentah surplus dipasar. Maka terjadi hukum ekonomi, kelebihan pasokan membuat harga jatuh.


Kemudian sejak awal febuari 2020, menurut laporan media Reuters 10/2/2020 trend harga minyak dunia sudah menurun akibat lockdown di China untuk mengatasi wabah covid 19. Puncaknya terjadi setelah pertemuan OPEC dengan negara Rusia gagal menentukan pembatasan produksi yang mengakibatkan harga minyak terjun bebas.


Sehingga kalau ada pendapat bahwa Pertamina saat ini belum tepat bisa menurunkan harga jual BBM, karena kontrak pembelian minyak mentah dilakukan pada bulan Febuari ketika harga minyak masih tinggi untuk penyerahan bulan April, tentu pertanyaannya berapa % volume impor minyak mentah dan BBM pada saat bulan Febuari telah dibeli oleh ISC Pertamina, apakah dealnya fixed price atau floating price, kemudian apakah status kontrak FOB atau CFR ?, itu dulu harus dibuka ke publik.


Seharusnya ISC ( Integrated Supply Chain) Pertamina, pertama sebagai fungsi perencana dan Optimasi, kedua sebagai fungsi niaga dan komersial, serta ketiga sebagai fungsi operasional dan eksport sudah bisa sejak awal memprediksi kedepan saat akan melakukan tender pengadaan minyak, paling tidak sekitar 3 atau 6 bulan kedepan apakah trend harga minyak akan naik atau turun dengan parameter parameter yang sudah baku dalam dunia perdagangan minyak, termasuk parameter non fundamental seperti potensi pandemi Covid19 yang sudah terjadi sejak Desember 2019, sehingga sudah bisa menentukan strategi pengadaan yang paling menguntungkan bagi Pertamina, bukan malah sebaliknya bertindak ceroboh dan berpotensi merugikan Pertamina dalam menjalankan proses bisnisnya, yang pada gilirannya merugikan segenap rakyat Indonesia karena dibebani ekonomi biaya tinggi.


Kalau fungsi ISC salah strategi saat itu yang berakibat Pertamina rugi, ya jangan rakyat yang lagi susah disuruh menanggungnya, harusnya gentelmen lempar handuk atau Menteri BUMN mencopot Direksi dan pejabat Pertamina yang bertanggung jawab disektor tersebut.


Akibatnya saat ini muncul polemik mengapa harga jual eceran BBM Pertamina belum turun juga, sebagai perbandingan di negara tetangga sebelah harga BBM jenis Bensin / Gasoline Ron 95 di Malaysia pertanggal. 3 April 20 sdh turun menjadi RM 1.38 / ltr atau sekitar Rp. 5.300 /ltr, sementara harga bensin Pertamax Ron 92, dijual dijakarta Rp. 9000/liter.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB