Ya, Camus sejatinya hendak mendedahkan pikirannya mengenai etika absurditas manusia. Manusia “dihukum” turun ke bumi dengan menanggung segala risiko tak terduga. Orang boleh berharap pada Tuhan, tapi bagi Camus jawaban untuk menjalani hidup yang absurd dan tak tertaklukkan adalah “solidaritas umat manusia”.
Absurditas ala Camus ini mungkin bisa menjerat siapapun entah itu penderita wabah peyakit seperti covid 19, atau juga bisa juga menimpa mereka yang terpapar ‘wabah’ lain. Pandemi atau epidemi penyakit apapun bisa menjerat manusia di tubir absurditas. Tak pelak juga, mereka yang galau, hilangan panduan dan lalu melakukan ketidakwarasan seperti mereka yang nekat hijrah dari Bumi Pertiwi ke Bumi Syam, Suriah. Kini mereka ini tengah menjadi pandemi lain yang kelak setelah usainya covid 19 akan kembali tersingkap. Para returnis ini yang jumlahnya sudah ratusan kembali di negeri ini memang sedari awal mengidap absurditas. Dalam keliaran internet dan militansi para pendoktrin, mereka tak mampu ‘menaklukkan’ akal warasnya. Justru yang terjadi mereka ‘ditaklukkan’ oleh halusinasi tentang ‘negeri impian’ yang dibayangkan ada ‘surga’ di sana. Begitu mereka tiba, bayangan itu tetap bayangan, tak ada surga, tapi justru neraka. Hari demi hari hingga tahun demi tahun, penantian itu makin menjauh dari kenyataan. Hingga ISIS porak poranda, mimpi masih mimpi tak ada secercah wujud. Apa yang mereka teriakkan sebagai kekhalifahan hanya penantian tiada ujungnya. Hingga menujah diri mereka untuk menghalau harapan dan impian, lalu pulang. Mereka pun balik kampung dengan berbagai cara. Bersyukur, ada yang bisa kembali selamat dan kini mereka berdiam di negeri yang dulunya mereka anggap ‘negeri kutukan’. Banalitas kembali mengiringi perjalanan harian mereka. Hidup itu nyata, harus bekerja, berkreasi, meniti prestasi demi menyabung dan mengikuti orkestra kehidupan.
Yah, ‘para perindu kekhalifahan’ bagai ‘menunggu Godot’. Saya teringat terma dari sebuah naskah drama yang ditulis Samuel Beckett yang pernah dipentaskan di Jakarta. Lagi-lagi, disini bicara tentang absurditas dan ini membelit tatkala manusia merenungkan keberadaannya ditengah keriuhan dunia. Absurd adalah situasi dimana manusia tidak menemukan kepastian dalam hidupnya sehingga ia menjadi aneh, tak jelas, dan serba bingung. Lalu mereka menunggu kedatangan Godot. Mereka berharap Godot segera datang, namun penantian mereka sia-sia karena hingga akhir drama, Godot tak pernah muncul. Jadilah kehadiran Godot adalah “ex absentia”, yakni keberadaan dari ketiadaan. Ia dibicarakan terus menerus, namun ia tidak pernah muncul. Ketiadaan dirinya telah menjadikannya sebagai pusat perhatian dan dengan cara yang demikian itulah ia menunjukkan kekuasaannya.
Mereka yang terkena covid 19, harapan untuk sembuh terus menderap-derap. Dengan militansi perjuangan dokter dan tenaga medis yang tulus ikhlas akan mampu menolong mereka untuk sembuh. Solidaritas yang meluas di masyarakat juga memantik optimisme bahwa kita pasti akan mampu menaklukan covid 19. Solidaritas yang diwujudkan hingga pada mereka PDP covid 19 yang harus menerima nasib dijemput ajal. Karena manusia adalah mulia dari sejak lahir hingga di liang lahat. Pun bagi mereka para returnis yang sudah berada di negeri ini setelah sembuh dari paparan wabah ‘kehalifahan’, kini mereka selayaknya perlu mendapatkan tempat di hati masyarakat. Tak ada lagi bagi PDP covid 19 yang meninggal dan juga para returnis yang telah sadar, menerima stigma yang hanya akan merisak solidaritas sosial.
Absurditas dalam wujud yang gegar membahana suatu kala bisa jadi akan kembali membebat kehidupan ini. Dialektika antara kewarasan dan kegilaan tatkala menghadapi kepelikan memahami realitas akan terus saling berkelindan. Kita hidup dalam dunia yang makin berisik dengan segenap tingkah dan perilaku manusia. Planet bumi ini kian sesak dengan ‘kreatifitas’ yang tak terkendali. Kita tak bisa mengelak.
Nah, ada banyak wabah yang mungkin masih mengintai kehidupan kita, kini, esok dan mendatang. Bukan hanya berwujud kuman, virus, mikroba atau apapun namanya, tapi juga ada ancaman yang terang benderang. Dunia kita masih dihuni oleh tak sedikit ‘koloni’ yang didalamnya terhimpun mereka yang terus merawat keserakahan, kemarahan dan dendam kesumat. Semogalah, dalam kegentingan-kegentingan, peradaban kita masih tetap kokoh. Kita yakin masih banyak insan-insan yang mau bergerak, berjibaku dalam pengabdian, serta membangun solidaritas untuk semua.
BACA JUGA ARTIKEL DARI PENULIS YANG SAMA:
Robohnya ‘Kerajaan Intelektual’ Kami
Kembali Ke Bumi Pertiwi Dengan Literasi
Sebuah artikel opini yang ditulis oleh Soffa Ihsan. Penulis adalah Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku).
Isi artikel ini tidak mengekspresikan kebijakan redaksi Klikanggaran.com