opini

Negara Hukum yang Terhukum

Selasa, 17 Maret 2020 | 20:16 WIB
PicsArt_03-17-08.18.21


Jakarta,Klikanggaran.com - Masih ingat dengan film "WARKOP" yang dalam salah satu adegan si Indro menambahkan kata-kata dari sebuah tanda peringatan. "Dilarang merokok disini, ingat kebakaran kemarin! Dilarang kencing disini, ingat kebanjiran kemarin!" Kebanjiran karena kencing sembarangan, memang tidak akan mungkin ada namun yang namanya kebanjiran Peraturan Perundang-undangan, inilah yang sekarang kita rasakan bahkan Presiden Jokowi menilai kebanjiran Peraturan membuat kita malah terjepit!


Entah dengan bangsa-bangsa lain dalam bernegara? Adakah mereka malah terjepit oleh Peraturan Perundang-undangan yang mereka hasilkan sendiri. Sehingga – seperti kita – Negara Hukum yang kita lakoni adalah Negara yang Terhukum! Kenapa bisa menjadi terhukum?


DARI MENURUT MENJADI PEMBUAT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Pasal 9 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Sumpah Presiden memuat perkataan "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar 1945 dan menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa".


Bukan hanya Presiden, Sumpah anggota-anggota DPR atau DPRD, Kepala-kepala Daerah bahkan seluruh aparatur pemerintahan negara sumpahnya seperti itu. Karena sumpahnya seperti itu maka segala Peraturan Perundang-undangan yang ada dan masih berlaku di Republik ini wajib dan harus dituruti. Untuk diketahui, jumlah Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidaklah sedikit.


Buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan yang disusun oleh Mr.Engelbrecht yang memuat Peraturan Perundang-undangan Hindia Belanda hingga Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tebal saja melebihi bantal. Belum lagi buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan yang disusun Mr.Koesnodiprodjo yang memuat Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintahan Orde Lama.


Itu baru Engelbrecht dan Koesnodiprodjo, beberapa ahli hukum kita juga menyusun buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam beberapa bidang. Mr. Iman Soepomo, misalnya dalam HUKUM PERBURUHAN, Abdurrahman SH., dalam HUKUM PERKAWINAN. Dalam bidang Hukum Lingkungan, ada Munajat Danusaputro yang hasil kerja dalam menyusun peraturan perundang-undangan HUKUM LINGKUNGAN cukup tebal juga.


Dengan bantal Peraturan Perundang-undangan yang demikian tebal tersebut boro-boro untuk menjalankannya, melihatnya saja sudah trauma (apalagi membacanya). Daripada susah-susah lebih baik bikin peraturan perundang-undangan yang baru, hasil kerja sendiri, hasil keinginan dan cita-cita politik sendiri dan yang pasti lebih sip! Perkara peraturan perundang-undangan yang baru dibuat tersebut bertentangan dengan asas-asas hukum yang ada atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan sudah ada sebelumnya, itu urusan nanti. Kalau perlu, biarkan saja sampai ada yang memperkarakannya di Pengadilan Tata Usaha Negara atau Mahkamah Konstitusi.


Dari pihak yang seharusnya menjalankan peraturan perundang-undangan selurus-lurusnya menjadi pihak yang membuat peraturan perundang-undangan yang baru versinya sendiri, apalagi disertai klausula (syarat) peraturan perundang-undangan yang yang lama dianggap tidak berlaku. Inilah salah satu sebab Bangsa kita kebanjiran peraturan perundang-undangan.  "Tidak memanfaatkan apa yang ada namun bikin yang baru". Seperti manusia kurang kerjaan!


MENGIRA ADA KEKOSONGAN HUKUM


Terus terang, saya termasuk orang yang heran bila ada orang yang kerap membuat pernyataan bahwa dalam beberapa hal tertentu, dinegara kita masih terdapat kekosongan hukum. Kalau yang membuat pernyataan seperti ini bukan seorang yang berpendidikan hukum, saya agak maklum. Kalau seorang yang berpendidikan hukum, patut dipertanyakan sekolahnya dimana!


Hukum tidak akan pernah kosong, peraturan perundang-undangan apalagi. Kita bukanlah Bangsa yang kemarin sore Bernegara. 74 tahun sudah kita Bernegara, dan peraturan perundang-undangan yang positif berlaku di negeri ini bukan saja yang kita buat sendiri namun juga peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang memang kita hajatkan (dengan Peraturan Peralihan di Undang-Undang Dasar 1945) untuk tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD. Mana mungkin ada kekosongan!


Mungkin karena malas untuk membuka, mencari dan mempelajari peraturan perundang-undangan yang ada, langsung saja membuat pernyataan, ada kekosongan hukum. Saya yakin yang sebenarnya adalah kekosongan otaknya. Hakim, Jaksa dan Pengacara kalau beracara dimuka pengadilan tidak akan pernah membuat pernyataan ada kekosongan hukum dalam soal ini atau itu. Sumber hukum seorang Penegak Hukum bukan peraturan perundang-undangan semata, masih ada yang namanya Yurisprudensi (Kumpulan Putusan-putusan Hakim) dan Doktrin (Pendapat-pendapat Ahli Hukum terkemuka) atau jikalau perlu menggali nilai-nilai keadilan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat).


Karena selalu menganggap terdapat kekosongan hukum, dibuatlah peraturan perundang-undangan yang baru – yang sebenarnya isinya kosong melompong karena tidak mengindahkan norma-norma perundangan. Ini pula yang membuat kita kebanjiran! Kebanyakan peraturan perundang-undangan yang justru bernilai sampah!

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB