Jamak lika-liku cerita selama saya di pesantren. Ada yang landai-landai saja, dan juga ada yang kocak dan sangar. Pakai sarung, kopyah miring, berjalan seraya mendekap kitab kuning menjadi kegiatan harian. Model ngajinya sorogan dan bandongan. Ngajinya bisa sambil menyandar di tiang masjid atau sambil tiduran, bahkan cukup dengarkan dari gothakan, alias kamar santri yang biasa satu kamar diisi 10-an orang seperti kamar saya dulu saat nyantri. Yang penting bisa nyimak dan menuliskan makna di kata-kata yang terpajang di kitab kuning. Biasanya ngajinya selama dua jam paling dapat 2 korasan. Ini istilah santrinya untuk menyebut halaman. Dan kalau sudah tamat, berarti kitab yang dikaji itu sudah ‘disahi’. Lagi-lagi, ‘bahasa prokem’ santrinya untuk menyebut sudah ‘disahkan’ oleh kyai pengajarnya. Kalau ingin yang kilat, santri nantinya bisa ikut ngaji pasanan, yaitu pas bulan ramadhan. Ngaji kitab Bukhori bisa khatam sebelum lebaran. Biasanya ngaji pada ramadhan, kitab yang dibalag (istilah santri untuk menyebut dikaji) seperti kitab Qami’ut Thughyan, Qathr al-Ghoist, al-Minah al-Saniyah, Qurrotul Uyun, dan masih banyak lagi. Kitab-kitab itu membahas seputar, tasawuf, fikih, tauhid, hadits, tafsir dan juga soal seksualitas..
Kali ini cerita yang kocak. Ada santri yang mungkin lagi ‘sange’ ngomongnya ngelantur,”seumpama syariat libur sehari saja, enak kali ya, bisa berbuat sesuka hati, ha ha.” Ini kelakar gaya santri, jangan trus digeret ke pasal ‘penodaan agama’. Ada kisah kocak lagi. Semua pesantren dimanapun berada, sudah pasti tempat santri putra dan santri putri terpisah, alias tidak bercampur. Letaknyapun kadang agak berjauhan. Kos-kosan saja seperti di Jakarta masih banyak yang hanya mengkhususkan kos pria atau wanita. Biasalah namanya kehidupan yang ‘homogen’, acapkali kalau ada ‘makhluk lain’, apalagi yang ‘bening’ yang masuk ke kawasan santri putra atau baru masuk gerbang pesantren, tetiba suasana jadi gaduh nan riuh. Ada yang suit-suit, teriak-teriak, dan pukul-pukul kaleng atau apa saja. Saya termasuk golongan santri suka menabuh kaleng saat ada santriwati atau mbak-mbak yang masuk pondok putra. Padahal seringkali santriwati itu datang sama orang tuanya atau saudaranya untuk keperluan jenguk saudaranya yang sedang nyantri.
Sebaliknya juga, bila ada santri putra yang lewat depan pondok putri, beberapa santri putri ada yang manggil-manggil menggoda. Sumpah tujuh turunan, saya mengalami itu sendiri saat saya dan seorang teman hendak beli kitab di sebuah toko dekat pondok putri. Begitu lewat kok ada suara memanggil, Saya tengok atas, mbak-mbak santri menggoda dengan mendesah-desah, tapi hanya suara tanpa rupa. Tentu tidak gaduh seperti di pondok putra. Yah, manusiawilah, masa-masa puber dan hidup dalam ‘satu kolong’ yang sejenis, akan bergejolak bila menemukan ‘sang liyan’.
Cerita yang ini masih batas wajar. Bagaimana yang sangar? Yah, hidup sejenis telah mencipta hal-hal tak terduga. Mau tahu! Sudah dengar apa belum istilah ‘sempetan’ atau ‘mairil’?. Ini berlaku buat santri putra maupun santri putri. Bahasa Arabnya, ‘mufakhodzah’ dan ‘musahaqoh’. Untuk santri putra, ‘saling nempel paha’ bisa menjadi ‘jalan keluar’ dari keterpendaman hasrat membara. Bagi santri putri, ya samalah saling ’tempel-menempel’. Lelakon ini seringkali tidak dilakukan ‘suka sama suka’, atau hubungan hirarkis ala ‘milkul yamin’, tapi ada unsur ‘nyuri-nyuri’ dan rudapaksa. Biasanya, santri yang masih ‘amrad’, maksudnya masih kinyis-kinyis, pada malam-malam didempet oleh santri yang sudah gaek. Walaupun ada juga yang dilakukan ‘saling rela’, tapi tanpa hadirnya ‘rasa’. Cara lain, dijalani secara ‘swalayan’, istilah santrinya ‘istimta’ atau ‘nikah al-yad’. Ini benar-benar kondisi ‘kepepet’ dengan dalil kaidah fikih ‘al-Dharurah tubih al-mahdzurah’, jalan yang sudah buntu, maka akan menerbitkan ‘the power of kepepet’.
Sang pelakon memang menjalaninya hanya ‘pelampiasan’ temporal. Sekeluar dari pesantren, mereka kembali ke ‘garis lurus’. Ibarat hidup di penjara, apa saja bisa terjadi. Perumpamaan ini memang kurang tepat, karena pesantren bukan laiknya Nusakambangan atau Guantanamo, melainkan lembaga pendidikan Islam yang mendidik santri dengan pengetahuan dan adab yang kelak bisa menjadi pribadi yang bermanfaat. Yup, dibobok-bobok namanya juga manusia, sistem yang sudah dipatenkan selalu saja kebobolan. Saya tidak mau menceritakan yang lebih dahsyat. Cukuplah cerita ini setidaknya bisa terhimpun sebagai ‘material’ untuk menatapi fakta ‘sesungguhnya’ dunia pesantren. Khusus fakta ini sudah lama ditulis dalam sebuah buku seperti “Mairil, Sepenggal Kisah Biru’ yang diungkap oleh seorang santri. Saya sendiri sudah menumpahkan dalam sebuah buku, tapi maaf tidak perlu saya sebutkan lagi.
Seusai ‘yang lalu’ terkuak, ‘yang kini’ kembali disimak. Kita mungkin hanya tercekat oleh kata ‘sesungguhnya’ yang kali ini ditimpakan pada pesantren. Mendadak kita ‘bingung’ dengan ‘sesungguhnya’ ketika dihadapkan pada fakta-fakta di pesantren. Dan kita pun mengalami kegamangan antara ‘yang sakral’ dan ‘yang profan’, bila meminjam ungkapan antropologi Mircea Elliade. Pesantren seakan sesuatu yang ekstraordinary, sedangkan diluar pesantren hanyalah acak, kotor dan binal. Pola pikir biner ini rentan dari resiko, jadinya melihat dua dunia yang tidak terkait bahkan sama sekali. Maka ketika pesantren ditonton sebagai sebuah film, yang lebih mumbul adalah hilangnya ‘kesadaran filmlis’ yang didalamnya selalu ada ‘gula-gula’. Ajibnya, sesuatu yang sesungguhnya fakta menjadi ‘kabur’ atau ‘dipaksa’ sirna oleh karena tatapan atas nama adikodrati.
Akhirnya, kita perlu bersikap adil bahkan saat masih ada di alam pikir. Sikap membabi-buta tanpa ‘akal sehat’ bisa merobohkan bangunan keyakinan yang sesungguhnya secara kodrati senantiasa terkait dengan ‘yang profan’. Saat ini, kita diperhadapkan gempuran ‘keyakinan dekil’ yang membawa musykil. Kita tak boleh ditaklukkan oleh keyakinan yang tanpa nalar. Padahal La dina liman la aqla lahu. Beragama semestinya bernalar. Menaati agama tidak lantas mudah menghujat atau menyerapahi segala hal yang berbeda. Kesalehan justru memacu kian beradab dan makin bijaksana bak begawan. Uuh, gegara “The Santri”, saya jadi siuman dan semangkin kejang-kejang merindukan pada ‘beriman dengan nalar’.
Opini oleh Soffa Ihsan, Penulis hanya seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku)
----------
Isi artikel ini merupakan tanggung jawab penulisnya