Ketika saya lewat dan melihat barang, pemilik kios itu langsung bertanya: From Philipina? Saya menggelengkan kepala dan menjawab: From Indonesia. Ia pun berbicara dalam bahasa yang tak saya tahu. Saya menduga bahasa lokal di Afrika Selatan. Dia berbicara lewat aplikasi di handphone.
Seketika handphone mengeluarkan terjemahan suara bahasa Indonesia. Saya menjawab dengan bahasa Indonesia. Handphone itu mengeluarkan suara menjadi bahasa yang dimengerti oleh pemilik kios itu.
Kami bicara bulak balik selama hampir 10 menit. Saya memakai bahasa Indonesia. Ia memakai bahasanya sendiri. Kita sama sama tak mengerti bahasa masing-masing. Namun, aplikasi di handphone menjadi penerjemah otomatis.
Setelah saya melewati pedagang itu, setelah membeli produk lokal yang ia jual, saya sengaja mengamati kios itu dari jauh. Ia melakukan hal yang sama kepada pembeli lain. Aplikasi handphone itu dapat menejemahkan aneka bahasa menjadi aneka bahasa lainnya.
Saya pun mengerti. Profesi penerjemah akan segera hilang. Aplikasi terjemahan di handphone dapat dengan murah, praktis, dan nyaman menggantikannya.
Jika harus menggunakan penerjemah, berapa banyak penerjemah yang harus dipekerjakan pedagang di pasar rakyat itu agar dapat berkomunikasi dengan pembeli manca negara, yang punya beragam bahasa?
Berapa pula dana harus ia siapkan untuk mempekerjakan begitu banyak penerjemah sepanjang waktu? Aplikasi terjemahan di handphone sudah mampu menolong pedagang tersebut.
Wah! Hukum pasar bebas bekerja. Ekonomi selalu memihak pada yang lebih murah, lebih efisien, lebih akurat. Untuk terjemahan populer, aplikasi di handphone sangatlah nyata segera menggantikan penerjemah tenaga manusia.
-000-
Namun sekali lagi, teknologi baru tak hanya menyebabkan hilangkan jenis pekerjaan tertentu. Ia juga mengubah persepsi baik dan buruk.
Bergantinya peradaban, dari berbasis pertanian menuju industri, lalu berbasis informasi memerlukan narasi baru. Publik luas memerlukan jawaban baru mengenai realitas, baik dan buruk, dan makna dari segala sesuatu. Narasi lama tak lagi memadai untuk peradaban yang baru.
Peradaban kita sekarang ini sedang layu. Ideologi yang menjadi basisnya sedang kuncup. Peradaban sekarang bersandar pada otoritas kemampuan manusia, kebebasan individu, untuk menilai, menganalisa, lalu membuat keputusan.
Padahal semakin banyak bukti, kemampuan manusia itu sudah dikalahkan oleh teknologi. Tak hanya aplikasi terjemahan Google yang semakin banyak digunakan. Waze dan Google Map, misalnya, sudah lebih ahli sebagai penunjuk jalan. Deep Blue bahkan sudah pula mengalahkan pemain catur paling hebat zamannya: Garry Kasparov. Software keuangan sudah pula lebih baik dibandingkan analisis ahli keuangan sekalipun.
Perubahan besar sedang terjadi. Ini mengulangi apa yang terjadi pada perubahan peradaban sebelumnya. Dulu peradaban berbasiskan otoritas langit melalui wahyu, para nabi dan kitab suci. Segala keputusan publik dibuat berdasarkan rujukan kitab suci.
Tapi, datangnya peradaban industri mengubah itu. Ilmu pengetahuan menjadi basis. Otoritas peradaban berubah dari langit menuju kehendak bebas manusia.