Sebuah opini oleh: Soffa Ihsan
Khalayak negeri ini tampaknya harus memacu sikap arif. Sikap ‘kebegawanan’ ini perlu didekap erat senyampang jamaknya hamburan berita dan narasi yang memantik petaka. Setiap kali kita memelototi medsos entah itu twitter, facebook dan lainnya jantung terasa berdegup. Tak hanya ungkapan yang lintang pukang kebenarannya, tapi juga makian atau hujatan yang saling menyambar bak predator yang sedang berburu mangsa. Kalau tidak tenang berbalur kritis, bisa-bisa ikut terhanyut dan lalu menghambur ungkapan yang senada.
Tetiba pernah muncul tuduhan bahwa terorisme merupakan hasil rekayasa dari pihak-pihak tertentu. Bahkan tuduhan ini keluar dari anggota parlemen terhormat. Dengan bahasa yang terbungkus agak eufimis, istilah ‘pengalihan isu’ memancar seolah memesona pembacanya. Yang berbau politis terasa lebih dahsyat mencuat. Saling banting dan menjatuhkan dengan menebar hoax bahkan fake news menjadi ‘panggilan jihad’ demi membela jagoannya. Untuk hal yang beraroma mistispun juga mengemuka. Seseorang yang tokoh di desa mendadak mengeluarkan ‘fatwa’ agar penduduk di desa tersebut segera pindah ke daerah lain karena kiamat akan tiba. Berbondonglah penduduk meninggalkan rumah dan harta bendanya. Namun, terbukti tidak terjadi apa-apa, jangankan kiamat yang masif, pohon tumbangpun tidak terjadi.
Contoh hoax yang excellance, sebagaimana sebuah ‘atsar’ yang diriwayatkan oleh Lee McIntyre dalam buku kecilnya bertajuk Post-Truth (2018). Arkian, di belahan bumi barat ada sekelompok sekte pengikut Dorothy Martin, yang mendaku bisa berkomunikasi dengan mahkluk alien. Lalu ia mengumumkan bahwa dunia akan kiamat pada tanggal 21 Desember 1954. Sontak, pengikutnya percaya, mereka mulai menjual seluruh harta benda mereka, dan berkumpul di sebuah gunung menunggu kiamat dan penyelamatan dari kaum alien. Namun pada malam itu, alien tidak datang, kiamat juga tidak terjadi. Bayangkan betapa bingung, kecewa, malu dan marahnya orang-orang ini. Ajaibnya, Dorothy Martin bisa menenangkan mereka dengan sebuah pesan baru: iman dan doa kalian begitu kuat dan hebat sehingga para alien membatalkan rencana kedatangan mereka. Maka, doa-doa penuh iman para pengikut inilah yang justru menyelamatkan dunia dari kiamat.
Bagi seseorang atau kelompok yang sudah terbebat oleh pikiran radikal sehingga menetaskan paranoid dan serba syakwasangka seraya meenggenggam teori konspirasi sebagai rujukannya, hal-hal yang masih belum jelas kebenarannya akan mudah terlahap. Justru bagi mereka yang dipandang hoax (khobar al-ifki) adalah berita atau narasi yang ‘ilmiah’, berdasar riset dan rujukan yang otoritatif. Maka, kun faya kun, terjadilah kisah seseorang yang rela menjual harta benda dan bahkan rumahnya untuk bekal hijrah ke Suriah. Berita dan narasi mewartakan bahwa akhir zaman akan tiba dan harus hijrah ke Bumi Syam. Seorang ustadz berapi-api mengkhotbahkan segala hal yang seolah ‘ilmiah’ dari soal nujumannya tentang ‘Akhir Zaman’ hingga soal terorisme sebagai konspirasi dan ini hanya berdasar pada ‘keyakinan’ tanpa investigasi ilmiah dan sikap kritis.
Tak luput yang terjadi di miliu eks napiter. Mereka ini termasuk kelompok yang masih rentan dengan persebaran informasi dan berita hoax di dunia maya. Indoktrinasi dari mentornya saat mereka masuk jaringan radikal tidak sertamerta hilang begitu saja kendati mereka sudah menjalani hukuman di penjara. Pemikiran akan mudah ‘membara’ bila membaca tulisan-tulisan di internet yang menyeru pada radikalisme. Seperti gegara kasus pembakaran bendera tauhid atau Pilpres 2019, lalu tidak sedikit eks napiter yang ‘siuman’ kembali gairah jihadnya dan sontak mengobarkan jihad seraya ikut berdemo dengan militansi membuta.
Kalangan ‘jihadis’ ini memang sudah melek internet. Mereka biasa membaca informasi dari medsos. Lalu mereka saling berkomunikasi dengan sesama ‘íkhwan’ mereka baik untuk keperluan praktis maupun yang sifatnya idiologis. Melalui ‘arena digital’ ini situasi bisa tak terkontrol. Hal-hal yang berpotensi melahirkan pikiran, sikap dan tindakan ekstrem menjadi terbuka lebar.
Fenomena seperti ini mengungkap kembali bahwa Indonesia selalu mengalami ‘lompatan’ yang tak beraturan. Dulu saat televisi hadir di masyarakat, berbondong-bondong masyarakat menonton televisi. Dan kini, dunia internet hadir yang membuat masyarakat menjadi eforia sehingga memudahkan mereka untuk mendapatkan informasi yang bertebaran di internet. Mereka ‘dipaksa’ untuk menggunakan media digital, tetapi sesungguhnya mereka belum ‘siap’ dengan era digital. Akibatnya, mereka hanya menggunakan internet untuk keperluan yang superfisial, bukan pendalaman keilmuan. Mereka belum memiliki tradisi membaca dengan baik.
[bersambung]
Soffa Ihsan, Penulis hanyalah seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), komunitas literasi eksnapiter